Minggu, 01 November 2009

Aktivis Walhi - Abdul Wahib Situmorang

Antroprocentrisme Versus Ekonsentrisme
Abdul Wahib Situmorang
Alumnus Ohio University, Aktivis WALHI


Seperti biasanya, setiap 22 April masyarakat dunia memperingati Hari Bumi. Adalah Geylord Nelson, salah seorang senator di Amerika bersama dengan jutaan aktrivis lingkungan hidup Amerika mempelopori peringatan Hari Bumi, 35 tahun yang silam. Mereka turun ke jalan-jalan sebagai bentuk keprihatinan mereka terhadap kondisi bumi yang semakin rusak hari demi hari. Mereka mendesak pemerintah Amerika Serikat agar lebih peduli
terhadap nasib bumi. Semenjak itulah, peringatan Hari Bumi tidak hanya diperingati di Amerika tetapi juga diperingati oleh masyarakat dunia.

Peringatan Hari Bumi kali ini tetap didominasi oleh berita buruk kerusakan demi kerusakan yang terjadi di permukaan bumi. Perubahan iklim terus berlangsung sebagai akibat masih dipergunakannya bahan bakar fosil dan rusaknya hutan tropis dunia. Tak pelak lagi, perubahan iklim ini menyebabkan berbagai bencana lingkungan hidup mulai dari naiknya permukaan laut terhadap daratan sampai dengan perubahan cuaca ekstrem.

Defisit
Di Indonesia, seperti peringatan Hari Bumi sebelumnya, neraca lingkungan hidup masih menunjukan pada panah defisit. Tutupan hutan, misalnya, semakin berkurang. Pencemaran terjadi dimana-mana, di sungai, di laut dan di danau. Kwalitas udara semakin buruk akibat polusi asap kendaraan dan cerobong asap industri. Akibatnya, gangguan kesehatan menimpa masyarakat tak terelakan lagi. Gundulnya hutan, misalnya lagi, telah menyebabkan banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. Alih-alih mencegah agar keruskan tidak terjadi lebih parah lagi, malah kita terus menyaksikan aktivitas merusak di lakukan oleh manusia seperti pembalakan liar dan pembuangan limbah ke laut.

Pertanyaanya, mengapa kerusakan bumi bisa terjadi terus menerus? Saya berpendapat, seperti juga pendapat Spinoza, Thoreau, Jhon Muir, Gary Synder, bahwa kerusakan bumi tidak terlepas dari cara manusia memandang
bumi. Selama ini, cara pandang manusia sangat dipengaruhi oleh paradigma antroprocentrisme.

Paradigma antroprocentrisme memandang manusia sebagai mahluk paling sempurna. Dengan kesempurnaan yang dimilikinya, manusia boleh berbuat apapun termasuk eksploitasi alam tanpa batas. Pandangan ini menekankan bahwa manusia memiliki posisi teratas terhadap mahluk hidup lainnya. Paradigma ini mendapat justifikasi melalui sejumlah ajaran agama seperti Islam dan Kristianiti. Meski, banyak ayat didalam kedua ajaran agama tersebut menghendaki manusia berlaku arif dan bijaksana mempergunakan akal dan pikirannya (Bill Deval 1999).

Perkembangan ilmu pengetahuan, keinginan mengumpulkan keuntungan dan kekuasaan, mendorong paradigma antroprocentrisme semakin kokoh di era Revolusi Industri. Pada era inilah, pandangan antroprocentrisme menjadi dasar berpijak kolonialisme baru terhadap bumi. Penghancuran bumi di lakukan secara intensif, masif tanpa mengindahkan aspek keberlanjutan apalagi memikirkan keseimbangan. Hasilnya, bumi sekarang ini, penuh dengan cerita miris kerusakan lingkungan hidup.

Meski pandangan antroprocentrisme begitu dominan, tantangan dari masyarakat dunia mulai bermunculan. Aktivis lingkungan hidup bersama para simpatisannya mencoba mendekontruksi paradigma antroprocenstrisme dengan memunculkan paradigma ekosentrisme. Paradigma ekosentrisme memandang posisi manusia sejajar dengan mahluk hidup lainnya di muka bumi. Paradigma ekosentrisme melihat tidak ada satu justifikasi apapun memposisikan manusia lebih tinggi dan memiliki izin untuk melakukan eksploitasi alam tanpa batas. Pandangan ekosentrisme meminta manusia arif dan bijaksana mempergunakan akal pikirannya. Teknologi, misalnya, diciptakan menurut pandangan ekonsentrisme, mengabdi untuk menjaga keseimbangan hidup antar mahluk hidup di muka bumi (Caroloyn Merchant 1999).

Pandangan ekonsentrisme ini sesungguhnya telah mulai diadopsi oleh masyarakat dunia sejak tahun 1970-an. Konferensi Stokholm di Swedia yang digelar pada 1972 menjadi tonggak diterimanya paradigma ekosentrisme. Pada 1990, para pemimpin dunia berkumpul kembali di Brazil untuk membicarakan nasib bumi. KTT Bumi, begitulah pertemuan ini dikenal, mendesak seluruh negara berdaulat di dunia untuk mengadopsi pembangunan berkelanjutan.

Pada 1994, di Kairo pemimpin dunia bertemu untuk kesekian kalinya. Meski tidak membicarakan lingkungan hidup an-sich, Konferensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) berhasil merumuskan strategi pembangunan baru. Rumusan hasil ICPD ini mencoba mensinergikan antara pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan hidup. Premis dasar formula pembangunan baru ini menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat menghindari penduduk dunia dari mara bahaya bencana lingkungan hidup.

Komitmen simbolik
Kesepakatan global yang mengadopsi nilai-nilai ekosentrisme kita bias temukan juga dalam delapan butir kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs). Pada butir ketujuh, para pemimpin dunia memasukan pentingnya bagi negara-negara di dunia menjaga lingkungan hidup. Lingkungan hidup tidak bisa dikorbankan lagi atas nama pembangunan ekonomi. Malah sebaliknya, setiap pembangunan mesti mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara sungguh-sungguh.

Meski kesepakatan global tersebut masih sebatas ''komitmen simbolik'' paling tidak paradigma antroprocentrisme semakin mendapat tantangan serius. Paradigma ekosentrisme semakin laku karena masyarakat dunia melihat betapa merusaknya sebuah kebijakan politik ekonomi terhadap alam bila hanya menekankan kepentingan manusia semata.

Dengan situasi seperti sekarang ini, jendela kesempatan bagi masyarakat dunia terutama di Indonesia, menyelamatkan bumi semakin terbuka lebar. Meski demikian, paradigama ekosentrisme masih butuh diartikulasikan secara intensif dan masif sebagai alternatif dari paradigma antroprocentrisme. Dekontruksi terhadap ajaran agama dan ajaran sekuler lainnya yang mengagung-agungkan kekuatan akal manusia mesti dilakukan terutama pandangan yang menyakinin kekuatan akal manusia dapat dipergunakan sebagai alat penahlukan terhadap mahluk hidup lainnya.

Paradigma ekosentrisme juga mendesak agar inisiatif melakukan penelitian menemukan energi alternatif perlu dilakukan secara intensif. Konversi hutan alam untuk perkebunan skala besar, pertambangan, dan pembalakan liar perlu ditangani secara serius. Hukum lingkungan hidup perlu ditegakan untuk menjerat para perusak lingkungan hidup. Paradigma ekosentrisme juga menghendaki perubahan radikal cara hidup manusia dengan mengurangi pemakaian produk yang berasal dari alam secara drastis. Upaya semua ini perlu dilakukan untuk mengurangi kerusakan bumi. Ini penting agar pada peringatan hari bumi mendatang neraca yang selama ini selalu defisit berubah berlahan-lahan menjadi surplus.





Mobilitas Global Modal

Barangkali argumen utama dalam mendukung thesis globalisasi adalah banyaknya berbagai modal uang yang terjadi dalam transaksi saham internasional, obligasi dan mata uang. Tehnologi komunikasi elektonik berarti bahwa jumlah uang/modal yangbegitu besar ini dapat ditransfer ke seluruh dunia dengan sekejap. Pergeseran terkombinasi pada sebagian besar pasara modal dalam satu hari adalah equivalen(atau setara—pentj) dengan pergeseran dalam perdagangan internasional dalam satu tahun. Kesamaannya adalah kebenaran transaksi dalam pasar uang utama. Tetapi fakta yang berlainan ini mengindikasikan bahwa lebih dari 90% dari transaksi-transaksi ini berbasis pada gerakan “mengambang” uang kertas, yakni, secara esensial bersifat spekualtif. Persamaan tersebut benar untuk jumlah modal uang yang besar yang diinvestasikan di pasar saham dunia.

Semenjak “crash” pasar modal pada Oktober 1987, jumlah uang kertas yang diinvestasikan di saham-saham perusahaan telah meningkat lebih dari 25% di Itali dan Kanada, lebih dari 50% di AS, Jerman, dan Inggris serta lebih dari 100% di Perancis. Ini telah menghasilkan peningkatan yang tak terprediksikan dalam harga saham. Tentu, semakin tinggi harga suatu saham perusahaan, semakin rendah nilai relatif dividennya --pembagian keuantungan dari produksi yang didistribusikan kepada setiap pemegang saham. Dalam realitasnya, hanya sedikit investor akhir-akhir ini yang membeli saham dengan tujuan mendapat bagian keuntungan sebuah perusahaan yang dihasilkan melalui produksi dan penjualan komiditinya. Poin dari jual beli di pasar modal adalah spekulasi, menjual dan membeli saham di perusahaan-perusahaan --sembarangan perusahaan-- dengan harapan menghasilkan keuntungan yang cepat dengan memprediksikan bilamana orang-orang lainnya akan membeli dan menjual nya besok, atau dalam lima menit mendatang.

Bagian yang terpenting dari uang kertas yang “mengambang” ini berisi apa yang disebut Marx sebagai modal “fiktif” atau “imajiner” yang berlawanan dengan realitas, produktif, komoditi, dan modal. Obligasi pemerintah, contohnya, mewakili titel legal atas sebuah bagian dari pendapatan pemerintah di kemudian hari, misalnya, dari sektor perpajakan. Modal-uang yang digunakan untuk belanja negara salah satunya diperoleh dari penjualan obligasi dan obligasi itu diperjualbelikan oleh negara, misalnya, ia telah menjadi pinjaman bagi pemegang obligasi tersebut. Tetapi karena pemegang obligasi menerima bunga dari pinjaman ini, dan dapat menjualnya sebagai komoditi, kemudian obligasi tersebut berlaku sebagai modal. Sebagaimana yang digarisbawahi Marx dalam Bab 30 pada Volume 3 Das Kapital, “ Surat Pengakuan utang ini yang ditujukan untuk sebuah peminjaman (pemberian utang) tapi ketika diperjualbelikan, surat ini membiakkan modal yang tak tampak (annihiliated capital), yang berfungsi untuk dimiliki sebagai modal sejauh surat tersbut bisa diperjualbelikan selayaknya sebuah komoditas dan bisa dirubah menjadi modal” (K. Marx, Capital, Penguin, London, 1991 edn, Vol.3,p.608).

Saham dalam perusahaan-perusahaan bermodal gabungan adalah titel kepemilikan modal yang riil. Tetapi sebagaimana yang digarisbawahi oleh Marx, “Mereka tidak bisa mengontrol modal yang ada” karena “modal tersebut tidak bisa ditarik kembali” sejak modal atau saham itu terikat dalam bangunan, mesin, bahan mentah, dan sebagainya.

“Tetapi [demikian Marx menambahkan] titel ini nampak menjadi kertas duplikat modal riil, seolah-olah sebuah bill of lading (sebuah perintah pengambilan kargo --DL) yang secara simultan mencerminkann sebuah nilai dari kargo tersebut. Mereka menjadi nominal yang mewakili modal tak-eksis. Bagi modal yang secara aktual eksis sama halnya, dan tidak ada perpindahan tangan jika duplikat ini dijual-belikan. Ini menjadi bentuk modal tanpa-bunga karena tidak hanya membuahkan suatu pendapatan tertentu tetapi nilai modal yang diinvestasikan didalamnya dapat dibayar ulang dengan penjualannya. Sejauh akumulasi dari sekuritas ini mencerminkan sebuah ekspansi rel-rel kereta api, pertambangan, kapal uap, dll., Ia mencerminkan sebuah ekspansi sebuah proses reproduksi yang aktual...Tetapi sebagai sebuah duplikat yang mana oleh mereka sendiri dapat dipertukarkan selayaknya komoditi, dan , sementara itu sirkulasi sebagai nilai modal, mereka impikan, dan nilai mereka dapat naik dan turun secara cukup independen terhadap gerakan nilai modal aktual terhadap apa yang mereka titelkan...”

“Laba dan rugi yang merupakan hasil fluktuasi dalam harga dari kepemilikan titel ini ..adalah alamiah dalam kasus tersebut semakin banyak hasil dari gambling…“[ibid.,pp.608-09]

Begitu bermacamnya gunung-gunung modal ilusi tersebut yang telah terjadi adalah terhalang oleh sebuah grafik. Menurut Financial Times terbitan London pada tanggal 21 Maret 1994, nilai nasional kontrak masa depan (yakni, perlindungan kontrakan terhadap dan mengantisipasi gerakan masa depan harga-harga komoditi pertanian, indikasi pasar modal, jumlah tingkat bungan dan tingkat pertukaran mata uang) yang diperdagangkan di seluruh perdagangan dunia telah mencapai jumlah US$14 Trilyun setiap tahun. Tentu, spekulator yang sama akan menggunakan dengan baik tingkat yang sama dalam beberapa operasi yang sama suksesnya, sehingga laporan yang aktual mengenai perdangan di masa yang akan datang mungkin seperlima atau sepersepuluh jumlah ini. Tetapi sekalipun itu adalah sebuah grafik yang mengagetkan jika dibandingkan dengan jumlah total modal riil, tidak termasuk real estate, ini secara adalah kepemilikan-pribadi di seluruh dunia yang dihitung oleh Bank Chase Manhattan sebanyak US$10 Trilyun pada tahun 1993.
Pertumbuhan yang mengerikan jumlah uang kertas “mengambang” telah dipicu oleh berbagai macam ekspansi hutang oleh negara, perusahaan dan rumah tangga yang diperoleh melalui kredit bank yang terjadi sejak permulaan gelombang depresi panjang pada awal 1970an. Sebab mendasar sistem spekulatif yang membengkak ini adalah berbagai macam ekses kapasitas produktif (yakni, overproduksi aktual dan potensial dari komoditi-komoditi) yang membelenggu sebagian besar industri di seluruh dunia. Modal baru tetap saja terbentuk oleh profit yang dihasilkan setiap tahun yang tidak lama kemudian menemukan kesempatan investasi yang cukup aman setidak-tidaknya pada keuntungan rata-rata, yang mana itu sendiri tetap terdepresi dibandingkan level ia sendiri selama permulaan “gelombang panjang ekspansi” dari akhir 1940-an sampai akhir 1960-an. Fakta bahwa modal ini tidak terinvestasi secara produktif lagi menghasilkan gelombang depresi panjang (khususnya berkurangnya lahan kerja), yang mana berubah menjadi over-akumulasi modal, transformasi yang terus tumbuh dari modal ini menjadi kertas tanpa bunga dan, oleh karenanya, spekulasi dalam kertas ini.

Aktivitas yang spekulatif tidak hanya dilakukan oleh para “spekulator” profesional. Ia semakin didominasi oleh sebagian besar bank-bank swasta besar dan perusahaan-perusahaan transnasional.

Tapi berbagai macam massa kepentingan yang diterima para spekulator adalah dikurangi dari total nilai lebih yang diproduksi waktu itu. Oleh karenanya, fraksi dari nilai lebih tersebut, modal riil, yang disediakan untuk investasi produksi saat itu semakin menurun. Dus, dunia telah dicuci oleh modal illusi karena pemotongan modal riil secara relatif, dan meningkat terus.

Sementara begitu besar jumlah uang kertas “mengambang” secera konstan menjelajahi bumi, berpindah dari satu pasar uang ke yang lainnya selama 24 jam penuh, para pemiliknya dimana pasar uang ini berada mempunyai berbagai macam kebijakan. Karena begitu banyak aktivitas spekulatif ini yang ditaruh dalam kredit-uang (money-credit), pemainnya sangat sensitif sekali terhadap peningkatan tingkat suku bunga. Itulah makanya menjadi sensitif terhadap segala perkembangan dalam ekonomi “riil” yang mana para spekulator tersebut mungkin khawatir akankah ini membuat bank sentral di negara-negara imperialis utama, terutama sekali Federal Reserve Board AS, akan menaikkan tingkat bunga obligasi pemerintah.





“Globalisasi” dan Neo-liberalisme

Jika, sebagaimana telah dijelaskan, argumen dalam mendukung tesis “globalisasi” tidak berdiri di atas sekuritas, mengapa konsep ini telah menjadi begitu terkenal? Hirts dan Thompson menawarkan penjelasan berikut:

“Retorika politik baru ini adalah didasarkan pada liberalisme yang anti-politik. Membuat bebas dari politik, ekonomi global baru ini membiarkan perusahaan-perusahaan dan pasar-pasar mengalokasikan faktor-faktor produksinya sampai ke tingkat tertingginya, dan tanpa distorsi oleh intervensi negara. Perdagangan bebas, perusahaan-perusahaan transnasional dan pasar modal dunia telah membebaskan bisnis dari kekuasaan politik, dan mampu menyediakan konsumen di dunia ini dengan barang-barang termurah dan produsen-produsen yang paling efisien. Globalisasi menyadari yang cita-cita kaum liberal mengenai perdagangan bebas pada pertengahan abad ke-19 seperti Cobden dan Bright: ialah, dunia yang telah di-demiliterisasi dimana aktivitas bisnis adalah yang primer dan kekuasaan politik tidak punya peran lain selain perlindungan sistem perdagangan bebas dunia.”

“Bagi kaum kanan di negara-negara industri maju rethorika mengenai globalisasi adalah merupakan sebuah takdir. Ia memberikan kesempatan untuk melanjutkan kehidupan setelah kegagalan yang bersifat menghancurkan dalam hal eksperimen kebijakan moneter dan individualisme yang radikal pada tahun 1980-an. Hak-hak buruh dan kesejahteraan sosial dan praktek-praktek semacamnya di era manajemen ekonomi nasional akan menyebabkan masyarakat Barat menjadi tidak kompetitif dalam hal hubungannya dengan negara-negara yang baru saja mengalami proses industrialisasi di Asia dan karenanya harus dikurangi secara dramatis.”

Ia, retorika mengenai “globalisasi” diperlukan untuk memberikan legitimasi ideologis bagi usaha meneruskan kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal setelah mereka gagal memenuhi janji-janji alami mereka mengenai pertumbuhan ekonomi yang dipertahankan dan peningkatan standar hidup. Ini tentu saja tidak kebetulan bahwa retorika “globalisasi” menjadi trend diantara para komentator ekonomi, sosial dan politik borjuis yang dimulai semenjak resesi kapitalis interna sional pada tahun 1990-1993.

Setelah resesi tahun 1980-1982, ada peningkatan dalam semua negara-negera ekonomi kapitalis maju. Resep neo-liberal nampak sudah jalan. Penerimaan oleh publik terhadap resep ini adalah yang paling luas karena crash pasar modal pada tahun 1987 tidak segera menghasilkan resesi harapan-harapan setiap orang. Perekonomian negara-negara kapitalis maju terus tumbuh dan pengangguran sedikit menurun.

Tetapi lalu pada resesi 1990-1993 yang menyebabkab dampak yang lebih luas dari pada resesi yang terjadi pada 1974-1975 atau 1980-1982. Pengangguran meningkat tajam, mencapai tingkat rata-rata resmi 8% di seluruh negara-negara imperialis. Perbaikan mulai lagi dengan dinamisme besar-besaran pada tahuh 1994, tetapi dalam 18 bulan ia kembali menguap. Pada periode tersebut semenjak akhir dari resesi, pengangguran di seluruh negara-negara imperialis hanya menurun menjadi 7.8% menurut laporan resmi.

Argumen lama kebijakan ekonomi neo-liberal telah kehilangan kredibilitasnya. Gantinya, argumen baru yang sedang dicari-cari untuk meligitimasi kebijakan ini: jika kita, kamu buruh di negara-negara industri maju, tidak menerima potongan lebih besar lagi dari gaji kita, kondisi kerja, hak-hak kesejahteraan sosial,dan pembayaran lebih banyak lagi bagi tunjangan kesehatan individu, tunjangan pendidikan dan tunjangan pensiun, maka negara “kita” akan menjadi tidak kompetitif di mata “kekuatan-kekuatan yang secara bergerak global” yang dimiliki bisnis-bisnis besar sekarang ini, dimana lalu akan memindahkan investasi ke negara-negara yang upah buruhnya lebih murah diantara “negara-negara industrial baru” (NICs).

Pada tahun 1980-an, kemandegan ekonomi neo-liberal dijustifikasi dengan klaim bahwa pengorbanan kecil saat ini akan menghasilkan lapangan kerja baru dan kesejahteraan di masa depan. Pada tahun 1990an, di saat sangat jelas sekali bahwa tingkat pengangguran yang tinggi tersebut merupakan sebuah masa depan kehidupan yang permanen di dalam ekonomi “pasar bebas”, kita didongengi bahwa jika kita tetap tidak terima dengan pemotongan dan penghematan anggaran, maka perekonomian kita akan jauh lebih buruk di masa depan. Di dalam pasar global yang semakin kompetitif, siapa yang tidak bekerja lebih “keras” dan menerima pendapatan mereka berkurang akan mendapati diri mereka tidak punya pekerjaan sama sekali.

Neo-liberalisme dan Kemandegan Ekonomi Kapitalis
Tentu saja, kaum kapitalis si penguasa negara-negara imperialis tidak punya komitmen untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal karena mereka telah terangsang oleh mitos “globalisasi”. Kebijakan ini klop dengan prioritas perjuangan klas dari kelas penguasa.

Selama masa-masa gelombang ekspansi panjang dari akhir 1940-an, dibawah kondisi akumulasi modal yang cepat, dan ada kemunduran mendasar dalam hubungan internasional kekuatan-kekuatan pada biaya-biaya penguasa imperialis (yakni, peningkatan kekuasaan kapitalis di Eropa Timur dan Cina, munculnya perjuangan anti-kolonial, tumbuhnya sentimen pro-komunis di antara pekerja di Eropa Barat dan Jepang), prioritas dari kelas kapitalis di negara-negara imperialis adalah membeli perdamaian sosial di negaranya dan mendukung kebijakan luar negeri imperialis melalui reformasi sosial, diantaranya adalah penyediaan lapangan kerja yang relatif penuh dan kebijaan-kebijakan pengamanan sosial memainkan peran kunci.

Ekspansi ekonomi sendiri menciptakan kondisi material dimana, sedikit-banyak, sistem mampu menyediakan barang-barang. Dalam framework pertumbuhan ekonomi jangka panjang di atas rata-rata (bagi kapitalisme monopoli), kebijakan Keynesian mengenai jaminan full-employment selama siklus menurun melalui merangsang ekonomi melalui peningkatan daya beli massa, walaupun ia menyebabkan sedikit inflasi, tapi tidak akan mengancam laba kapitalis. Kelas kapitalis yang paling ideologis berkesadaran kelas cukup terbuka untuk hal ini. Dus, Pennant Rhea, mantan editor mingguan bisnis Ingris The Economist, menyatakan bahwa sistem kesejahteraan paska-perang merupakan “impor dari Marxisme” yang dipaksakan terhadap orang-orang kaya melalui perang dingin.

Menjelang akhir 1970an, ternyata, menjadi jelas bagi penguasa imperialis bahwa gelombang panjang ekspansi telah memberi jalan bagi gelombang panjang depresi, dan itu tidak lagi memungkinkan untuk menjamin full employment, untuk menjaga keamanan sosial dan menjamin adanya keuntungan jika peningkatan yang lambat dalam income riil bagi pembayar upah tanpa mengancam keuntungan kapitalis. Pada poin tersebut dorongan untuk merestorasi tingkat keuntungan melalui peningkatan tingkat penghisapan terhadap kelas pekerja menjadi prioritas utama penguasa imperialis.

“Anti-Keneysian kontra-revolusi” neo-liberal dalam bidang ilmu ekonomi dan sosial borjuis bukan apa-apa kecuali hanyalah sebuah ekspresi ideologis atas prioritas yang berubah ini. Tanpa adanya restorasi jangka panjang dari pengangguran struktural yang kronis ( yakni pengangguran permanen bagi buruh dan tenaga kerja underemployed untuk memaksakan “disiplin” bagi buruh yang masih punya pekerjaan), tanpa restorasi terhadap “ rasa pertanggung jawaban individual dan terhadap keluarga” atas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (yakni tanpa beberapa potongan bagi keamanan sosial dan komponen-komponen lain porsi upah yang disosialkan), dan tanpa kemandegan ekonomi yang di-generalkan (yakni, penurunan pendapatan riil bagi kelas penerima upah), tak mungkin bisa ada restorasi atas tingkat laba didalam lahan investasi yang produktif.
Kemunculan Lagi Perlawanan Kelas
Selama tahun 1980-an dan awal 1990-an, penguasa imperialis didapati telah membuat kesepakatan yang terang dalam hal melemahkan perlawanan kelas pekerja dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Tetapi kejadian-kejadian sejak tahun 1995 telah mengindikasikan kelas kapitalis telah benar-benar sukses dalam hal menghancurkan kemampuan kelas pekerja untuk memperoleh lagi kepercayaan diri, daya pukul dan organisasinya yang diperlukan untuk menyusun pertempuran yang defensif melawan dorongan kemandengan kelas penguasa.
Dimulai dengan pemogokan buruh transportasi umum dan pos di Perancis pada Desember 1995, telah ada kemunculan lagi daya tempur kelas pekerja di serangkaian negara-negara industrial dan semi-industrial.

Gelombang pemogokan Desember di Perancis tahun 1995 dipimpin oleh buruh kereta api dan digerakkan sebagai respon terhadap usaha pemerintah memotong tunjangan sosial atas buruh kereta api. Tetapi, pukulan pemerintah secara meluas dipahami secara secara mendasar telah mengarahkan semua buruh Perancis dan bahkan kelas menengah strata bawah. Pemogokan tersebut didukung oleh relli dan demonstrasi secara mingguan yang membawa kemacetan aktivitas ekonomi secara nyata di seluruh kota-kota penting di Perancis. Meningkat sampai dua juta orang yang berpartisipasi pada aksi protes tersebut pada setiap akhir minggu di kota-kota kecil dan besar seluruh negara selama 24 hari golombang pemogokan.

Lalu pada tanggal 16 Oktober, dilaporkan 1,6 juta buruh sektor publik Perancis melakukan pemogokan sehari, bersamaan dengan buruh transportasi dan layanan publik lain, dalam protes menentang proposal, yang sedang didebatkan didalam parlemen Perancis saat itu, untuk menghapuskan tunjangan bagi buruh sektor publik dan pemotongan sebanyak 5.500 lapangan kerja di sektor publik menjelang akhir tahun tersebut dalam rangkat mencapai target anggaran untuk menciptakan sebuah mata uang tunggal Eropa pada bulan Januari 1999. Empat hari kemudian, 300.000 orang reli di seluruh Brusel dalam rangka protes terhadap perlindungan secara diam-diam oleh politisi Belgia terhadap lingkaran pornografi anak-anak yang menculik dan membunuh anak-anak. Seminggu kemudian Federasi Umum Pekerja Berlgia yang dibawah pimpinan kaum sosial-demokrat mengorganisir pemogokan selama 24 jam untuk menuntut pengenalan minggu kerja yang lebih pendek tanpa potongan upah untuk memerangi peningkatan pengangguran.

Pada tanggal 24 Oktober, 400.000 buruh baja, buruh galangan kapal dan buruh-buruh industri manufaktur lain di Jerman mogok melawan pemotongan gaji saat sakit. Aksi ini hanyalah yang terbesar diantara protes-protes serupa di Jerman. Satu hari kemudian, para buruh memukul telak terbesar di Kanada, Toronto, dalam pemogokan umum seluruh kota untuk menolak pemotongan anggaran negara atas tunjangan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah daerah Ontario. Pemogokan tersebut diikuti dengan dengan relli dan pawai oleh 300.000 demonstran pada tanggal 26 Oktober. Pemogokan umum Toronto hanyalah yang terbaru diantara pemogokan lima kota di propinsi Ontario.

Pada tanggal 28 November, tiga juta buruh berpartisipasi dalam pemogokan umum di Yunani untuk memprotes pengumuman pemerintah partai sosdem PASOK yang baru saja terpilih yang menyatakan akan menyapu ukuran-ukuran kemandegan ekonomi. Pada hari yang sama ribuan petani Yunani memasang blokade-blokade jalan yang memotong negara tersebut menjadi dua bagian. Para petani tersebut menuntut peningkatan harga produk mereka untuk menjamin pendapatan mereka, bahan bakar yang lebih murah, penundaan pembayaran hutang sebesar US$1,3 juta terhadap bank-bank dan menuntut pajak yang lebih murah untuk mesin-mesin pertanian.

Pada tanggal 13 Desember, tujuh juta buruh mengadakan pemogokan selama 24 jam di seluruh kota-kota utama di Italia dalam rangka memprotes ukuran-ukuran kemandegan oleh pemerintahan partai coalisi Pohon Jaitun pimpinan Romano Prodi yang baru saja terpilih, komponen utamanya adalah Partai Demokrat Kiri yang sosdem, sebelumnya disebut Partai Komunis.

Ini semua, dan seperti aksi-aksi oleh para buruh di Argentina, Rusia dan, sekarang, Korea Selatan adalah gejala permulaan sebuah respon kaum buruh terhadap peningkatan serangan modal terhadap standar hidup kelas kita, khususnya eskalasi serangan kaum kapitalis terhadap tunjangan-tunjangan keamanan sosial.

Dari Pertempuran Defensif ke arah Pertempuran Ofensif
Namun, barangkali yang paling penting diantara kasi-aksi buruh tersebut adalah pemogokan oleh 50.000 sopir truk Perancis yang dimulai pada tanggal 17 November dan berakhir pada 12 hari kemudian. Pemogokan ini adalah yang paling sighnifikan karena ia bukan merupakan sebuah pertempuran defensif yang sukses, seperti halnya pemogokan Desember 1995, tetapi merupakan sebuah pertempuran offensif yang sukses. Para sopir truk tersebut memenangkan tuntutan utama mereka --pemotongan jam kerja tanpa pemotongan gaji dan pemendekan umur pensiun dari 60 sampai 55 setelah 25 tahun bekerja. Keputusan akhir juga menyertakan janji pemerintah akan adanya tunjangan gaji rutin selama 5 hari sebagai ekstra.

Kunci kemenangan para sopir truk tersebut adalah solidaritas massa yang mereka terima dari buruh Perancis yang lain. Seperti yang dilaporkan oleh majalah Time edisi London: “Menurtn polling pendapat, 87% dari para sopir yang diwawancarai setuju dengan tuntutan para sopir mengenai peningkatan upah, pemotongan jam kerja dan masa pensiun 55 tahun sebagai hal yang dianggap fair”. Harian London juga melaporkan bahwa selain jalan-jalan yang diblokade, pom bensin kosong dan kerumunan massa yang tidak seperti biasanya, para pemonton yang simpati secara aktif memberikan dukungan kepada para pemogok. Ini, termasuk pula para pemilik restoran dan para pemilik usaha kecil yang men-support para pomogok yang memblokade jalan dengan makanan, kopi dan uang.

New York Times edisi 30 November merangkum alasan mengenai kemenangan atas dukungan masyarakat:

“Walaupun pemerintah bukan pihak yang langsung dalam perselisihan tersebut, pemerintah telah dilemahkan olehnya. Simpati masyarakat yang meluas terhadap para sopir truk mencerminkan peningkatan melemahnya negara dalam hal ekonomi dan semakin mendalamnya ketidak puasan terhadap pemerintahan konservatif Presiden Jacques Chirak yang berumur 17 bulan itu.”

“Persetujuan itu juga hembusan lain terhadap kebijakan pemerintah dalam hal memegang jalur keuntungan kaum buruh dan perubahan dalam hal aturan kerja...”

“Dalam sinyal yang lebih jauh mengenai kelemahan tersebut, Perdana Menteri Alain Juppe berusaha tidak mengancam untuk menggunakan paksaan guna membersihkan berikade-berikad, dan nampaknya ketakutan akan memprovokasi pemogokan yang lebih luas lagi. “

Hal yang secara khusus mengganggu penguasa kapitalis adalah apa yang dimulai di Perancis pada penghujung tahun 1995 sebagai pertarungan yang bagus perjuangan defensif terhadap perusakan yang intensif oleh kapitalis global terhadap standar kehidupan massa --satu-satunya hal yang benar-benar mengglobal di bumi dewasa ini-- telah memimpin ke arah perjuangan yang sukses dengan kharakter yang secara terang offensif. Para sopir truk Perancis berjuang mendemonstrasikan bahwa serangan sosial dan ideologis kaum borjuasi kehilangan kredibilitasnya dan kaum buruh memperoleh kembali kepercayaan diri mereka untuk membangkitkan pertempuran defensif yang sukses, mereka akan segera memperbaiki kepercayaan diri untuk meningkatkan kontra-offensif yang pasti datang.

Pelajaran utama dari pemogokan para sopir truk Perancis tersebut adalah bahwa aksi massa yang militan dan solidaritas perjuangan kelas, kelas kita tidak dapat sekedar memblokade serangan kapitalis atas standar kehidupan kita tetapi memaksa mereka agar mundur. Pada permulaan abad ke-21 ini, hal itu merupakan konsep globalisasi yang benar-benar mengagumkan.

* * *
KEKAYAAN KORPORASI VS DUNIA KETIGA


Tentang Tingkat Kemakmuran

é 10 % rakyat termiskin di dunia hanya memiliki 1,6 % dari pendapatan 10 % yang terkaya

é 10 % terkaya dari penduduk Amerika Serikat (atau sekitar 25 juta orang), memiliki tingkat pendapatan lebih besar dari sejumlah 43 % rakyat termiskin dunia (2 milyar orang)

é Sekitar 25 % dari jumlah penduduk dunia mempunyai pendapatan 75 % dari keseluruhan pendapatan dunia

é Pada tahun 1998 hutang Dunia Ketiga kepada Dunia Pertama serta institusi-institusinya mencapai US$ 2060 milyard. Jumlah ini sama dengan 95,5% total pengeluaran ekonomi negara-negara berkembang.

é Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 51 diantaranya adalah perusahaan korporasi

é Jika total penjualan 200 perusahaan-perusahaan korporasi terbesar di dunia digabungkan, maka jumlah tersebut 18 kali lipat gabungan pendapatan bersih dari 24 % rakyat yang hidup dalam kemiskinan



Tentang Kekuatan Militer

é Anggaran belanja yang dibutuhkan Militer Amerika Serikat untuk tahun 2001 sebesar US$ 305,4 milyar—lima kali lipat dibandingkan anggaran militer pada urutan kedua. Ini lebih dari 22 kali lipat dari anggaran yang dipergunakan Kuba, Iran, Iraq, Libya, Korea Utara, Syria dan Sudan—negara-negara yang disuluki “rogue nations (negara-negara pembangkang)” karena dianggap menentang Amerika Serikat dan sekutu-sekutu imperialisnya

é Amerika Serikat dan sekutu-sekutu terdekatnya membelanjakan uang untuk persenjataan jauh lebih besar dibanding gabungan dari negara-negara di dunia lainnya.



Diterjemahkan dari broadsheet of Resistance, the socialist youth organisation (www.resistance.org.au) edisi November/Desember 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar