Minggu, 01 November 2009

Dampak NAMA terhadap 4 Industri Nasional

DAMPAK KESEPAKATAN NAMA TERHADAP EMPAT INDUSTRI NASIONAL

Baru-baru ini harian The Jakarta Post (16/1/06) mengulas tentang dampak kesepakatan akses pasar produk-produk non-pertanian (NAMA – Non-Agricultural Market Access) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap empat industri nasional, yakni industri kimia, otomotif, metal, dan mesin. Artikel tersebut menyebutkan bahwa dengan disepakatinya modalitas NAMA, maka keempat industri ini harus mempersiapkan diri guna menghadapi tantangan yang lebih besar.

Perundingan modalitas NAMA sendiri harus diakhiri pada bulan April ini, meskipun pelaksanaannya masih belum ditentukan secara jelas. Para pelaku bisnis di Indonesia mengatakan bahwa industri-industri lokal yang segera mempersiapkan diri mereka untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi asing di Indonesia.

Satu studi yang dikeluarkan beberapa asosiasi bisnis mengemukakan bahwa industri-industri kimia, otomotif, metal, dan mesin merupakan industri-industri yang akan merasakan dampak pembukaan pasar industri di bawah kesepakatan NAMA.

Menurut hasil studi yang dikeluarkan oleh IGJ tahun 2005 lalu, kesepakatan NAMA sendiri bertujuan untuk ‘menurunkan atau menghapuskan puncak tarif, tarif-tarif yang tinggi, dan hambatan-hambatan non-tarif pada produk-produk non-pertanian, khususnya yang menjadi kepentingan ekspor bagi negara-negara berkembang’ (Chandra 2005: 2-3).

Menurut Budi Darmadi, Direktur Jendral Otomotif, Informasi, dan Komunikasi, Departemen Industri,’dengan tarif yang rendah, barang-barang yang lebih memiliki daya saing dari luar akan memberikan dampak terhadap sektor manufaktur kita’.

Akhir tahun lalu, pada Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Hong Kong, negara-negara anggota menyepakati untuk diadopsinya skema statistik untuk menurunkan impor tarif yang dapat berujung pada pembentukkan pasar yang lebih bebas.

Berdasarkan skema penurunan tarif yang akan diadopsi negara-negara anggota, juga dikenal dengan sebutan formula Swiss, produk-produk kimia, otomotif, metal, dan mesin Indonesia yang hingga kini masih dilindungi dari persaingan asing dengan tingkat tarif lebih besar dari 20 persen, di masa mendatang harus menghadapi persaingan yang lebih ketat dikarenakan masuknya para pelaku pasar asing.

Satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional, Jaringan Dunia Ketiga (TWN – Third World Network) sebelumnya pernah memperingatkan bahwa pengadopsian formula Swiss dapat memberikan dampak negatif terhadap sektor-sektor manufaktur negara-negara berkembang.

Industri otomotif di Indonesia, dimana tarif untuk produk-produk completely built up (CBU) berkisar antara 35 hingga 70 persen, akan menghadapi peningkatan impor yang akan berdampak buruk pada perusahaan-perusahaan otomotif.

Tahun 2005 saja Indonesia telah mengimpor sekitar 75.000 CBU dari negara-negara Asia Tenggara lainnya, dan 15.000 lainnya dari negara-negara di kawasan lainnya.

Sementara itu, industri otomotif domestik menghasilkan sekitar 530.000 mobil tahun lalu, dimana mayoritas komponen produk-produk tersebut merupakan impor dari negara-negara lain.

Para pelaku ekonomi sebelumnya pernah menyatakan keprihatinan mereka bahwa penurunan tarif bagi mobil-mobil CBU dan tarif yang lebih tinggi terhadap komponen mobil-mobil tersebut hanya akan mengakibatkan semakin berkurangnya manufaktur domestik, penurunan ruang penciptaan lapangan kerja, karena semua ini hanya akan menguntungkan pengimpor.

Menurut Budi, ‘kita harus cepat memperkuat industri komponen otomotif kita apabila kita tidak ingin kehilangan pasar dalam negeri’. Budi juga menyebutkan bahwa Indonesia masih membutuhkan lebih banyak insinyur guna mendukung pembangunan indsutri komponen yang lebih solid. Indonesia masih jauh tertinggal dari Taiwan dan China dalam pengembangan industri komponen otomotif.

Sementara itu, bagi industri kimia, agenda yang paling penting untuk dilakukan pemerintah adalah memperbaiki kebijakan pajak impor Indonesia.

Didi Suwondo, ketua Asosiai Produsen Plastik Indonesia,mengatakan ‘bahan-bahan mentah seharusnya diberikan pajak impor yang rendah sehingga perusahaan-perusahaan yang memproses produk-produk tersebut dapat berkembang dengan baik’.

Didik menyebutkan bahwa dalam kecenderungannya sekarang terlihat bahwa sedikitnya 15 persen dari para produsen plastik mulai memilih untuk mengimpor produk plastik daripada membuatnya di dalam negeri.

Hal ini, sekali lagi, membuat banyak perusahaan lokal harus tutup dan banyak buruh yang kehilangan pekerjaan mereka. (AC)

Sumber:
situs resmi The Jakarta Post, 16 Januari, 2006, pada:
http://www.thejakartapost.com/Archives/ArchivesDet2.asp?FileID=20060116.L01
Alexander Chandra (2005), Indonesia dan Akses Pasar Produk-Produk Non-Pertanian WTO, Jakarta: IGJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar