Minggu, 01 November 2009

Isu Singapura di WTO

KOMISI EROPA BERENCANA MENGHIDUPKAN KEMBALI ‘ISU SINGAPURA’ DI WTO

Komisi Eropa (EC - European Commission) berencana untuk menghidupkan kembali perundingan ‘Isu Singapura’ yang membahas berbagai hal, termasuk masalah penanaman modal, persaingan, dan transparansi dalam pengadaan barang-barang bagi pemerintah (government procurement) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Komisi Eropa juga meminta para perwakilan perdagangan negara-negara anggotanya untuk mempertimbangkan cara-cara agar perundingan ini dapat dihidupkan kembali di tingkat WTO.

Rencana EC mengenai Isu Singapura, yang dikesampingkan oleh Dewan Umum WTO pada bulan Juli 2004 lalu setelah timbulnya kontroversi yang menyebabkan gagalnya perundingan masalah ini di Cancun – merupakan bagian dari kertas strategi mengenai kebijakan perdagangan Uni Eropa (UE) pada tahun 2006.

Makalah yang disiapkan awal bulan Januari ini, dan berjudul ‘Kebijakan Perdagangan EC: Program Kerja Dewan Umum dan Isu-Isu Penting Bagi 133 Komite tahun 2006’ (EC Trade Policy: DG Work Programme and Main Issues for the 133 Committee in 2006), merupakan petunjuk bagi negara-negara anggota UE yang para perwakilannya membentuk 133 Komite yang berhubungan dengan isu-isu perdagangan.

Menurut makalah tersebut, pertemuan tidak resmi para menteri perdagangan UE akan berlangsung pada tanggal 29 Januari untuk mendiskusikan strategi UE pada masa paska Konperensi Tingkat Menteri (KTM) Hong Kong, bulan Desember 2005 lalu.

Makalah EC mengungkapkan bahwa WTO sepakat pada tahun 2004 bahwa penanaman modal, persaingan, dan transparansi tidak akan menjadi bagian dari program kerja Doha. Selain itu, negara-negara anggota WTO juga sepakat bahwa isu-isu tersebut tidak akan dibahas dalam agenda Doha.

Makalah ini juga menambahkan bahwa masalah pembahasan pengadaan barang-barang bagi pemerintah masih masuk dalam program kerja normal WTO, sedangkan tidak ada satu aktivitaspun yang dilakukan mengenai persaingan dan penanaman modal (selain apa yang dibahas di Kesepakatan Umum atas Perdagangan Sektor Jasa (GATS – General Agreement on Trade in Services)).

‘Akan tetapi, ketiga tema masih, dalam pandangan [EC}, penting bagi sistem multilateralisme dan guna memperbaiki perdagangan dan tata kelola ekonomi dalam negara-negara anggota WTO’, seperti tertulis dalam makalah tersebut.

Diskusi masih perlu dilakukan oleh Komite 133 untuk menjamin adanya pertukaran yang konstruktif dalam WTO untuk menindaklanjuti ketiga isu ini. Hal ini dapat meningkatkan adanya pengertian akan kontribusi ketiga hal tersebut terhadap kebijakan perdagangan multilateral.

Makalah tersebut juga menyebutkan bahwa paralel dengan diskusi apapun yang akan diadakan di WTO, EC akan terus mendukung adanya diskusi mengenai penanaman modal dan persaingan di berbagai forum-forum internasional lainnya, seperti Konperensi PBB atas Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD – United Nations Conference on Trade and Development) dan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD – Organisation for Economic Cooperation and Development). Hal ini dilihat EC perlu guna menjamin agar ketiga hal tersebut tetap masuk dalam agenda perdagangan internasional.

Sebelum diadakannya KTM WTO di Hong Kong, beberapa diplomat negara-negara berkembang telah memperkirakan bahwa EC akan mencoba beberapa metode baru untuk mengangkat kembali Isu Singapura ke dalam perundingan WTO.

Sangat memungkinkan pada tahun 2006 ini bahwa EC akan mencoba mendorong negara-negara anggota WTO lainnya agar dapat memulai kembali kelompok-kelompok kerja mengenai penanaman modal, persaingan, dan transparansi atas pengadaan barang-barang bagi pemerintah setelah diselesaikannya program kerja Doha.

Makalah EC juga membahas berbagai isu perundingan lainnya dalam perundingan Doha, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai isu-isu sektoral (termasuk akses terhadap obat-obatan, tekstil, baja, dan perikanan), mekanisme pertahanan perdagangan, hubungan perdagangan bilateral, dan beberapa isu-isu bertema tertentu.

Pada masa paska Hong kong, EC akan tetap merundingkan masalah sektor pertanian sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Dewan Umum. EC akan berusaha mempertahankan ‘keseimbangan yang sempurna’ antara berbagai pilar dalam perundingan-perundingan sektor pertanian, sekaligus antara sektor pertanian dan isu-isu lainnya. Selain itu, EC juga akan menjamin agar proses liberalisasi juga dapat memperhitungkan berbagai hambatan yang dihadapi oleh negara-negara anggota WTO yang paling lemah secara ekonomis.

Mengenai akses pasar produk-produk non-pertanian (NAMA – Non-Agricultural Market Access), tujuan UE pada tahun 2006 ini adalah untuk menjamin agar hasil dari perundingan WTO tetap berambisi sehingga adanya kesempatan-kesempatan akses pasar secara nyata.

Tujuan UE adalah tataran tarif dimana negara-negara anggota yang memiliki tingkatan pembangunan yang serupa dapat memiliki profil tarif yang serupa pula. UE menginginkan adanya formula yang ambisius untuk menurunkan tarif, yang didukung oleh beberapa pendekatan sektoral.

Makalah EC juga menyebutkan bahwa UE ingin menghapus hambatan-hambatan non-tarif (NTBs – Non-Tariff Barriers), khususnya pajak ekspor. Sementara itu, mengenai perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang, UE mempertimbangkan bahwa negara-negara berkembang seharusnya memberikan kontribusi yang sesuai dengan tingkatan pembangunanmereka. Hal ini merupakan tanda adanya dukungan UE untuk membedakan negara-negara berkembang WTO, sehingga dapat memecah-belah posisi perundingan dari negara-negara tersebut.

Mengenai fasilitasi perdagangan, makalah EC mengatakan perundingan seharusnya dapat mencapai komitmen yang efektif terhadap masalah impor, ekspor, dan prosedur-prosedur pabean. Hal ini meliputi adanya jaminan terhadap pelaksanaan transparansi yang lebih besar terhadap berbagai ketentuan-ketentuan perdagangan, penggunaan prosedur-prosedur moderen dan sederhana, serta memperbaiki kondisi transit.

Mengenai sektor jasa, makalah ini mengeluh bahwa Deklarasi Menteri Hong Kong tidak memberikan injeksi baru terhadap apa yang diharapkan dari perundingan sektor jasa. Hal ini dikarenakan Deklarasi Menteri sama sekali tidak menentukan target kuantitatif ataupun parameter pengikat kualitatif untuk adanya tawaran-tawaran yang lebih baik di masa mendatang.

Di lain pihak, para menteri menyepakati prinsip perundingan sektoral yang meliputi sektor-sektor yang jadi kepentingan negara-negara anggota. Tenggat waktu untuk dimasukkannya penawaran-penawaran yang diperbaiki ditentukan menjadi tanggal 31 Juli. UE akan membenahi diri berdasarkan skenario ini guna menjamin agar ambisi yang ditentukan oleh para menteri dapat dilaksanakan dalam proses perundingan.

EC juga mengatakan bahwa prioritasnya yang paling penting pada tahun 2006 ini adalah, pertama, memperbaiki tawarannya (pada tanggal 28 Pebruari) dan menekan adanya perbaikan tawaran dari negara-negara WTO lainnya. Kedua, EC juga berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam perundingan-perundingan sektoral yang menjadi kepentingan menyerang dari EC. Ketiga, penawaran sektor jasa UE yang diperbaiki akan disiapkan dalam waktu dekat ini. (AC)



Sumber:
Martin Khor, SUNS No. 5946, 18 Januari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar