Minggu, 01 November 2009

Joseph S. Nye

Lihat Kembali, Globalisasi Bukanlah Petaka Bagi Kaum Miskin
Oleh: Joseph S. Nye
13 April 2000
International Herald Tribune

Cambridge, Massachusetts- Para demonstran bergerombol menuju Washington untuk memprotes International Monetery Found dan World Bank. Mereka mengatakan bahwa globalisasi adalah petaka bagi kaum miskin. Apakah kenyataan ini benar? Atau apakah sebenarnya globalisasi menolong negara-negara miskin dalam meningkatkan standar kehidupan mereka?

Program UNDP (United Nation Divelopment Program) melaporkan bahwa 55 negara miskin telah kehilangan kesempatan/ kandas dalam beberapa dekade terakhir. Tetapi globalisasi bukanlah sesuatu yang selalu disalahkan. Kebanyakan negara-negara miskin mengalami kelaparan karena kesalahan domestik, korupsi dan kebijakan ekonomi yang tidak tepat.

Bertambahnya saling keterkaitan antar benua menggambarkan perubahan dimana biaya transportasi dan komunikasi dapat dikurangi secara dramatis. Banyak negara mencoba menutup diri mereka sendiri dari pengaruh negara lain, dan jika mereka melakukan hal itu, maka mereka akan kehilangan kentungan yang besar dari ekonomi global.

Korea Selatan, Malaysia dan Thailand adalah contoh negara yang memamfaatkan globalisasi untuk keuntungan mereka. Pada tahun 1960, Ghana dan Korea Selatan mempunyai pendapatan perkapita yang sama. Saat ini Korea Selatan mempunyai pendapatan perkapita lebih besar 30 kali lipat daripada Ghana. Dengan kata lain, negara yang sama miskin tidak hanya menjadi lebih kaya, mereka juga telah mengurangi jurang pemisah antara diri mereka sendiri dengan negara-negara yang paling kaya.

Apa kira-kira pendapat masyarakat miskin dari negara-negara miskin? Martin Khor, direktur Malaysia’s Third World Network, menyatakan bahwa “teknologi komunikasi informasi akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar, firma-firma keuangan, dan individu-individu yang punya modal, yang akhirnya menambah jurang pendapatan antara kaum kaya dan kaum miskin.

Kemiskinan turun secara bersamaan dan ketimpangan yang meningkat. Di Cina, ratusan ribu pekerja telah menaikkan standar kehidupan mereka sejak negara membuka diri terhadap ekonomi global pada tahun 1978. Ratusan ribu petani di daerah pinggiran telah ketinggalan di belakang dalam kemiskinan. Walaupun kemakmuran meningkat bukan berarti disebabkan oleh globalisasi dan globalisasi adalah penyebag ketimpangan itu..

Walaupun demikian, adalah penting untuk lebih memperhatikan ketertinggalan ini bukan hanya bagi alasan-alasan kemanusian. Arus migrasi yang deras dari daerah pinggiran ke kota menimbulkan masalah-masalah sosial yang besar. Ketidaksetaraan yang mencolok di era informasi dapat menyebabkan timbulnya hambatan politik yang besar. Dan kesempatan untuk membangun kemanusian menjadi sia-sia.

Untunglah, beberapa perubahan teknologi dapat mempunyai pengaruh besar dalam menolong masyarakat pedesaan untuk menyusul ketertinggalan. Iqbal Quadir, pendiri dari Grameephone di Bangladesh, telah memberikan gambaran bagaimana pinjaman kecil telah menolong perempuan desa terpencil untuk membeli telepon genggam yang menghubungkan desa dengan dunia yang luas yang memberikan kesempatan yang lebih besar lewat jaringan telepon.

Perempuan usahawan ini menjual pelayanan telepon dengan murah terhadap tetangganya, melunasi hutang mereka dan suami-suami mereka mulai memberikan sekedar teh pada pelanggan yang antri. Seperti Mr. Quadir menyebutnya, bukan “digital divide,” melainkan teknologi informasi akan memproduksi “digital dividend”.

Ayasi Makatiani, chief eksekutive Afrika Online, telah mencatat bahwa banyak usahawan kecil dengan layanan komputer modern menyediakan jasa bagi desa-desa di Kenya dan negara-negara Afrika yang lain. Biaya operasional dan komunikasi terus turun secara dramatis tiap tahun. Teknologi yang menggunakan suara memungkinkan orang untuk menggunakan komputer tanpa menulis dan memungkinkan orang-orang yang buta huruf untuk berpartisipasi.

Di India, industri teknologi informasi telah meningkat tajam sebagai akibat dari globalisasi. Imigran Indian yang memainkan peranan utama dalam California’s Silicon Valley tetap memberikan konstribusinya pada India. Seperti ekspatriat Taiwan sebelum gelombang India itu, kebanyakan dari mereka kembali ke negara asal mereka dan memulai mendirikan perusahaan baru amat mengembangkan transformasi ekonomi.

Dan keuntungannya dapat menyebar melampaui bentuk-bentuk lapangan kerja baru. Rajendra Pawar, chairman perusahaan informasi India, menggambarkan bagaimana cepatnya anak-anak yang buta huruf di perkampungan miskin dan kotor mampu menggunakan alat-alat teknologi digital untuk menggunakan teknologi manipulasi gambar di kios-kios umum. Membuat keingintahuan mereka terjawab melalui sarana tersebut dapat menolong mereka dalam menemukan kembali kesempatan pendidikan yang pernah hilang.

Teknologi informasi dan investasi internasional tidak akan pernah lepas dari dunia kemiskinan, tetapi teknologi informasi dan investasi akan menolong dalam mengurangi kemiskinan, ketika keduanya dikombinasikan dengan kebijakan pemerintah yang sehat dan pertolongan dari lembaga-lembaga donor seperti World Bank dan International Monetay Fund. Dengan pemimpin yang bertanggungjawab dan imaginasi yang kreatif dan sehat, globalisasi dapat menolong kaum miskin dalam mencapai standar kehidupan yang telah di nikmati sebagian besar negara-negara industri sejak lama.


Penulis adalah dekan Kennedy School of Government di Harvard University. Artikel ini dimuat di International Herarld Tribune.


Kita, Dunia dan Globalisasi:
Menelisik Pemikiran Joseph S. Nye


Kata Kunci
Globalisasi, Globalisme, Hard Power-Soft Power, Globalisme Ekonomi, Globalisme Militer, Globalisme Lingkungan, Globalisme Sosial dan Budaya dan Kebijakan Luar Negeri.


Abstrak
Bagaimana menghadapi globalisasi? Inilah pernyaan yang ingin dijawab oleh Joseph S. Nye. Dengan keahliannya dibidang political science, ia sangat concern pada masalah world order, etika politik, perdamaian dan keamanan dunia, senjata nuklir dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam konteks dunia yang tunggang langgangl. Sama halnya dengan Anthony Gidden, pemikiran Nye melampaui krangka berpikir yang dipakai kaum Kiri dan Kanan. Ia seorang pemikir yang beraliran Glastonian liberal yang merasa optomis dalam menghadapi globalisasi. Menurutnya, globalisasi merupakan keniscayaan zaman yang tidak bisa dihindari dan hanya sekedar diratapi, tetapi harus memanfaatkan demi kesejahtraan manusia

Riwayat hidup singkat
Josephh S. Nye menyelesaikan pendidikan S1 Princeton University dengan nilai kelulusan summa cum laude tahun 1958, pasca sarjana di Oxford University pada Rhodes Scholarship dan mendapat gelar Ph.D. di bidang political science dari Harvard University. Pada tahun 1964 Nye bergabung dengan Harvard University sebagai Director of the Center for International Affairs and Associate Dean of Arts and Sciences dan mengajar salah satu kursus kurikulum inti. Sejak bulan Desember 1995 sampai sekarang ia menjadi dekan Fakultas the Kennedy School. Sebelum menjadi dekan, ia sempat menjabat sebagai Sekretaris Asisten Pertahanan di Departemen Keamanan Internasional. Dari tahun 1977-1979, Nye menjabat sebagai Deputy to the Undersecretary of State for Security Assistance, Science, and Technology dan mengepalai National Security Council Group on Nonproliferation of Nuclear Weapons.

Sampai sekarang, selain aktif menulis buku, nye juga banyak mengedit buku, menulis artikel diberbagai majalah dan koran internasional. Buku yang telah diterbitkan diantaranya: The Paradox of American Power (2002), Understanding International Conflicts, 4th ed.(2002), and Power and Interdependence, 3d ed. (2000) dan artikelnya sering dipublikasikan di The New York Times, The Washington Post, The International Herald Tribune, The Wall Street Journal, and The Financial Times. Selain itu, ia sering muncul di televisi ABC’s Nightline dan Good Morning America, CNN’s Larry King Live, CBS’s Evening News, dan The PBS News Hour with Jim Lehrer, juga di televisi Australia, Inggris, Francis, Swiss, Jepang, and Korean.

Globalisasi: Kemalangan atau Keberuntungan?
Kata Globalisasi’ muncul sebagai kata yang menggelegar pada tahun 1970-an. Ini menimbulkan perdebatan seputar apakah benar ada fenomena baru yang dinamai ‘globalisasi’. Kata yang sering digunakan untuk menunjukan dunia yang sedang berubah cepat dan terus bertambah. Dalam artikelnya globalization: what's new? what's not? (and so what?) yang di publikasikan di Foreign Policy pada musim semi 2000 dan digarap bersama dengan Robert O. Keohane, Nye dan Keohane tidak membenarkan terhadap pemahaman di atas, tetapi ia juga tidak sepenuhnya menyalahkan. Globalisasi bukan hanya sekedar sesuatu yang bertambah tetapi lebih dari itu. Menurut keduanya Globalisasi adalah keadaan yang bisa bertambah dan berkurang tentang dunia yang saling berkaitan dalam jarak multi kontinental. Keterkaitan ini terjadi karena adanya perkembangan dan pengaruh modal, barang, informasi dan ide, manusia dan kekuatan.

Globalisasi merupakan fenomena multi dimensional bukan hanya dimensi ekonomi. Menurut Nye dan Keohane, dimensi globalisasi secara garis besar ada empat dimensi penting:

q Globalisasi ekonomi yang merujuk pada perkembangan modal, barang yang cepat dalam jarak yang sangat luas yang disertai dengan informasi dan persepsi perubahan ekonomi.

q Globalisasi militer yang merujuk pada hubungan saling keterkaitan tentang kekuatan, ancaman keamanan. Contohnya perlombaan senjata nuklir dan terorisme.

q Globalisasi lingkungan yang merujuk pada pemeliharaan terhadap kerusakan lingkungan dan efek kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia

q Globalisme sosial dan cultural yang merujuk pada penyebaran ide, informasi, image, dan orang.

Selain itu terjadi antara pendukung dan penentang globalisisi seputar efek yang ditimbulkan globalisasi. Para penentang ini sangat jelas terlihat ketika mereka berdemonstrasi untuk menghalangi konsfrensi tinggi G7 atau pertemuan lembaga donor seperti Word Bank dan IMF. Mereka menentang globalisasi dengan alasan bahwa globalisasi sangat berbahaya dan merugikan negara-negara lemah dan menguntungkan negara kuat, sehingga hanya menciptakan jurang yang sangat lebar antara negara kaya dan miskin. Joseph S. Nye merupakan salah satu wakil pendukung globalisasi. Dalam arktikelnya di The International Herald Tribune, Nye menjelaskan dengan cerdas bahwa globalisasi bukan menyengsarakan masyarakat miskin, tetapi justru menguntungkan. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan modal internasional, manusia bisa mendapatkan keuntungan besar. Argumennya ini dikuatkan oleh beberapa hasil penelitian di beberapa negara. Misalnya perbandingan antara Korea Selatan dengan Ghana. Pada tahun 1960-an kedua negara tersebut mempunyai pendapatan perkapita yang sama, tetapi sekarang Korea Selatan lebih mampu memanfaatkan globalisasi. Sehingga lebih kaya 30 kali lipat dibanding Ghana dan dapat menghilangkan ketimpangan tingkat kesejahteraannya, dapat mengirit ongkos dan mempermudah informasi dengan negara-negara industri yang telah lama maju


Soft Power-Hard Power: Sebuah Alternatif
Serangan 11 September 2001 merupakan tragedi yang sangat memalukan negara Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Tragedi menjadi sebuah tanda tanya besar bagi pemerintahan Amerika tentang sistem keamanan dan kebijakan luar negeri di era globalisasi. Dalam Propaganda Isn't the Way: Soft Power yang di publikasikan di The International Herald Tribune, Nye menjelaskan bahwa kebijakan tentang keamanan dan luar negeri tidak bisa hanya di dasarkan pada hard power tetapi juga soft power. Penjelasannya ini sekaligus menjawab Menteri Pertahanan Amerika, Donald Rumsfeld yang merasa frustasi tentang kebijakan luar negeri Amerika yang tidak sistematis dalam membentuk opini masyarakat dunia.

Menurut Nye, soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh kita dengan mengajak dan menarik simpati orang lain, sehingga orang lain bisa sama-sama mewujudkan keinginan kita. Dengan kata lain, soft power adalah kekuatan budaya, diplomasi, kerjasama dan kebudayaan. Sedangkan hard power merupakan kekuatan yang medasarkan pada kekuatan militer dan ekonomi. Nye mengkritik keras kebijakan luar negeri pemerintahan Amerika yang di pimpin George W. Bush yang hanya mengandalkan hard power. Menurutnya, Amerika harus berkaca pada pengalaman sejarah kerajaan Romawi yang runtuh karena hanya mengandalkan hard power. Nye mewanti-wanti bahwa image Amerika di mata dunia imbang antara yang merasa bangga dan benci. Kerenanya program kebudayaan, pendidikan, dan soft power lainnya harus diperkuat. Argumennya ini diperkuat dengan merujuk nasehat mantan presiden Amerika Roosevelt's yang mengatakan ‘now that we Americans have a big stick, we should learn to speak softly’.

Jakarta, 19 Agustus 2003

By: drie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar