Minggu, 01 November 2009

Manipulasi Kenaikan Harga BBM

Friday, December 31, 2004
Manipulasi Kenaikan Harga BBM

Ketika kecil, saat masih tinggal di pedesaan jauh di pelosok Utara kota Manado, Sulawesi Utara, musim bapete (panen) adalah saat-saat yang sangat kami nantikan. Pada musim bapete itulah, saya melihat muka Bapak saya terlihat santai dan selalu menyungging senyum. Tapi itu musim bapete di masa lalu. Pada musim bapete 2005 nanti, tampaknya bukan lagi saat yang tepat bagi petani untuk menikmati hasil jerih payahnya. Pasalnya, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla, telah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 40 persen dari harga sekarang. Kenaikan harga sebesar itu, demikian tutur Aburizal Bakrie, menteri koordinator ekonomi keuangan dan industri (Ekuin) yang juga seorang pemilik konglomerasi Bakrie Group, sudah tak terhindarkan.

Menurut perhitungan kementriannya, kenaikan harga minyak itu disebabkan oleh besaran subsidi yang tak bisa lagi ditanggung oleh APBN. Terlebih setelah harga minyak di pasaran internasional melonjak di atas angka US$50 per barel, beban subsidi semakin bertambah berat. Sebelum terjadi lonjakan harga minyak, subsidi BBM mencapai angka Rp. 75 triliun per tahun, dan setelah terjadi lonjakan menjadi sebesar Rp. 100 triliun (Kompas, 2/11/2004).

Tetapi, ada alasan lain di balik penghapusan subsidi BBM ini. Sebuah alasan yang telah menjadi klasik yakni, subsidi yang diberikan selama ini telah salah sasaran. Bakrie berargumen, seharusnya subsidi tersebut diberikan kepada rakyat miskin, eeh tak dinyana malah jatuh ke tangan kelompok kaya. Saya tak tahu apakah kelompok kaya yang dimaksud adalah juga dirinya dan kelompok usahanya.

Namun demikian, untuk menghindari terjadinya gejolak di masyarakat, Bakrie kembali mengeluarkan jurus yang juga telah menjadi klasik. "Subsidi yang diberikan akan dipindahkan dari subsidi BBM yang dinikmati mereka yang kaya kepada masyarakat miskin langsung dalam bentuk pendidikan dan kesehatan," (Kompas, 2/12/2004). Strategi lain untuk meredam gejolak di masyarakat adalah menunggu datangnya musim panen tiba, "agar masyarakat dapat menyerap kenaikan itu..."

Wakil presiden M. Jusuf Kalla, yang juga pemilik konglomerasi NV Haji Kalla Group, lebih berani pasang badan menghadapi gejolak dalam masyarakat, ketimbang Bakrie. Watak orang Bugis yang terkenal keras tampak menonjol pada diri wapres ini. Menurut Kalla, jika rakyat khawatir dengan kenaikan harga BBM, pemerintah juga khawatir jika harga BBM tidak naik. "Pasalnya," demikian Kalla, "jika tak menaikkan harga bahan bakar minyak, pemerintah lebih khawatir tak punya uang untuk melayani masyarakat," (Kompas, 1/12/2004). Berhadapan dengan "dilema" ini, menurut Kalla, pemerintah memilih untuk menaikkan harga BBM dan dengan demikian siap menanggung resiko adanya gejolak sosial dalam masyarakat. "Bagaimana kita punya opsi lain kalau kita beli Rp. 10 harus dijual Rp. 5. kalau sudah begitu tidak ada pilihan lain, harus naikkan harga," Kalla menegaskan.

Tapi, buru-buru Kalla menambahkan, untuk mencegah berulangnya "dilema" ini, pemerintah menganjurkan pada rakyat untuk menjadikan gas sebagai alternatif pengganti BBM. Ini karena gas lebih murah harganya dibandingkan dengan harga BBM yang fluktuasinya semakin sulit diperkirakan.

Manipulasi Data
Dengan seringnya pemerintah menjadikan beban subsidi sebagai alasan untuk menaikkan harga minyak, kita bertanya-tanya apakah memang seperti itu kenyataannya? Benarkah subsidi BBM merupakan biang keladi defisit yang melanda anggaran belanja negara (APBN) kita selama ini? Benarkah subsidi merupakan beban terberat bagi APBN? Mari kita lihat satu per satu.

Berdasarkan data Perkembangan Pengeluaran Rutin, 2000-2003, prosentase subsidi BBM terhadap produk domestik bruto selama kurun waktu tersebut terus menurun dari 6,4 persen pada tahun 2000, menjadi 5,3 persen pada 2001 dan semakin turun pada 2002 menjadi tinggal 1,9 persen. Tetapi, kalau kita lihat dana yang dianggarkan untuk pembayaran utang dan bunga utang porsinya cenderung terus meningkat yakni, dari 5,1 persen pada tahun 2000, meningkat menjadi 6,0 persen pada tahun 2001, dan turun sedikit menjadi 5,6 persen pada tahun 2002.

Tentu saja angka-angka seperti ini belum berarti banyak untuk menunjukkan betapa tidak adilnya tindakan pemerintah ketika menaikkan harga BBM. Atau betapa manipulatifnya data-data yang dilansir oleh pemerintahan baru ini. Kalla dan Bakrie, selalu mengutip angka subsidi BBM sebesar Rp. 70 triliun sebagai biang keladi meningkatnya beban anggaran pemerintah. Kedua pejabat tinggi negara ini melupakan atau mungkin menutup-nutupi, bahwa beban terbesar dari anggaran pemerintah berasal dari utang pemerintah yang mencapai angka Rp. 1.226,1 triliun (setara US$80 miliar). Beban utang ini hampir seluruhnya disumbang oleh utang dalam negeri yang mencapai Rp. 643 triliun. Kalau kita telusuri lagi, beban utang dalam negeri sebesar itu, terjadi karena pemerintah berusaha menyelamatkan kelompok bisnis besar di negeri ini, (termasuk di dalamnya adalah kelompok Bakrie dan Kelompok Kalla), yang kolaps akibat krisis ekonomi sejak tahun 1997.

Nah kalau kita kalau kita pakai hitung-hitungan sederhana, jika setiap tahun anggaran berjalan pemerintah harus membayar sebesar 5,1 persen untuk utang dan bunga utang, maka dana yang dialokasikan adalah sebesar 5,1 persen (untuk tahun anggaran 2000) x Rp. 1.226,1 triliun = Rp. 62.531,1 triliun. Pertanyaannya, apakah angka sebesar ini bukan merupakan beban bagi APBN? Kalau ini dianggap sebagai beban, kenapa bukan angka ini yang dikurangi? Saya menduga, jawabannya adalah: dana untuk subsidi sengaja dipangkas untuk menutupi beban anggaran yang ditimbulkan oleh kewajiban membayar cicilan utang dan bunga utang. Dengan terus membayar cicilan utang dan bunga utang, pemerintah berharap dari tahun ke tahun porsi anggaran untuk pos ini semakin kecil. Harap diingat, ini belum termasuk anggaran rutin untuk membiayai gaji pegawai negeri yang sangat tidak kecil itu.

Kini mari kita melangkah ke sektor yang lebih mikro. Salah satu alasan yang dikemukakan ketika subsidi harus dicabut, adalah PT Pertamina selalu merugi jika menjual harga BBM berdasarkan harga subsidi. Dengan penghapusan subsidi maka pihak pertamina bisa menjual harga BBM sesuai dengan harga pasar sehingga keuntungan pun bisa diraih. Tabel berikut ini menggambarkan harga jual yang berbeda antara harga subsidi dengan harga pasar. Sebagai misal, untuk premium, harga dalam negeri Rp. 1.810 per liter sedangkan harga pasar Rp. 2.780. Untuk minyak tanah kelompok rumah tangga Rp. 700 sedangkan harga pasar sebesar Rp. 2.690.

Tetapi, data-data ini tidak mengungkap apakah kerugian yang diderita Pertamina terutama disebabkan oleh perbandingan tingkat harga ini atau oleh praktek korupsi yang merajalela di lembaga ini. Mari kita lihat contoh kasus berikut. Seperti dilaporkan Mingguan Ekonomi dan Bisnis Kontan (6/12/2004), saat ini, setiap hari pertamina harus mengimpor BBM sebanyak 300 ribu barel. Uang yang dianggarkan untuk pengadaan BBM ini mencapai US$1 milyar setiap bulan. Tetapi, untuk pengadaan ini, Pertamina tidak mengusahakannya langsung tetapi, melalui perantara perusahaan Broker, dimana para broker itu mengutip dana sebesar US$0,15-US$0,2 per barel, dimana totalnya mencapai US$1,63 juta per bulan. Nah, salah satu perusahaan yang bertindak sebagai broker adalah Global Energy, yang berbadan hukum Singapura tapi, berbasis di British Virgin Island, dengan total fee/bulan sebesar US$1.550 ribu. Perusahaan ini baru didirikan pada Januari 2004, tapi pada Mei 2004 sudah ikut tender pertamina dan langsung memenangi beberapa kontrak jual beli BBM dan produk-produk sampingan kilang minyak. Proses cepat dan tangkas ini diduga terjadi karena salah satu pemilik Global Energy adalah Nirwan D. Bakrie, adik kandung Abrizal Bakrie.

Kasus lainnya, berdasarkan hasil temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sejak Januari sampai 30 September 2004, dari 5.304 laporan hasil pemerikasaan (LHP) ditemukan penyimpangan sebesar Rp. 1,3 triliun. Dari jumlah sebesar itu, kegiatan usaha migas menempati posisi teratas dengan 416 penyimpangan yang menimbulkan kerugian Rp. 1,11 triliun. Posisi kedua ditempati oleh Pertamina dan anak perusahaannya dengan 202 pelanggaran senilai Rp. 89,34 m iliar. (Trust, 29/11 ñ 5/12/2004).

Selain soal yang telah lumrah seperti ini, yang tidak pernah disebut oleh pemerintah maupun pihak PT Pertamina adalah besaran gaji yang diterima jajaran pejabat tinggi Pertamina, mulai dari komisaris hingga direktur. Berdasarkan laporan majalah Trust, gaji seorang komisaris Pertamina adalah Rp. 50 juta per bulan dan Rp. 75 juta untuk komisaris utama. Saat ini, di jajaran komisaris Pertamina ada seorang komisaris utama dan lima komisaris, yang berarti setiap bulannya gaji yang dialokasikan sebesar Rp. 300 juta. Sedangkan untuk gaji direktur utama Pertamina sebesar Rp. 150 juta, dan direktur sebesar Rp. 100 juta. Daftar ini masih akan sangat panjang bila kita menambah gaji dari jajaran Badan Pelaksana (BP) Migas, Badan Pengatur (Batur) Migas, dan gaji direktur di jajaran anak perusahaan PT Pertamina yang mencapai bilangan puluhan itu.

Selain dari itu, yang menjadi soal melonjaknya beban anggaran adalah pengadaan BBM yang diimpor oleh pemerintah, yakni sebesar 300 ribu barel per bulan hari. Sedemikian besarnya impor BBM itu, menyebabkan menteri keuangan Jusuf Anwar berpendapat bahwa Indonesia sepantasnya keluar dari keanggotaan organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC), karena posisinya yang sudah net-importir. Tentu saja pendapat Anwar ini dibantah oleh koleganya di departemen pertambangan energi dan sumber daya manusia (ESDM).

Terlepas dari perdebatan ini, mari kita lihat pendapat Rahmat Sudibyo, kepala badan pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas, bahwa posisi Indonesia yang hampir net-importir karena kilang minyak yang beroperasi saat ini baru mampu mengeksplorasi 38 unit basin (mangkok minyak gas) dari 60 unit basin yang ada di perut bumi. Masih menurut Sudibyo, di perut bumi pertiwi ini hanya ada cadangan minyak sebesar 9.747 miliar barel. Angka itu meliputi cadangan yang sudah terbukti bisa digarap sebesar 4.722 miliar barel, dan cadangan potensial 5.052 miliar barel. Dengan demikian, masih menurut Sudibyo, jika tak ada tambahan produksi dari sumur-sumur baru, plus jumlah minyak yang terkuras terus seperti sekarang, maka cadangan itu sudah akan habis dalam 16 tahun mendatang (Trust, 29/11 ñ 5/12/2004).

Kalau itu masalah, maka harus diusahakan ada pengeksplorasian sumur-sumur baru. Masalahnya, dengan sumur yang sudah sangat renta seperti saat ini, produksi rutin Indonesia hanya mencapai 1,072 juta barel per hari, padahal kebutuhannya telah mencapai 1,3 juta barel per hari. Lalu, mengapa tidak mengeksplorasi lapangan minyak lainnya? Di sinilah letak soalnya, karena ladang-ladang minyak potensial tersebut ternyata telah dikuasai oleh sebagian perusahaan asing. Misalnya, Kufpec dari Kuwait yang menguasai lapangan Oseil di Ambon, Petrochina yang menguasai lapangan West Betara dan West Piano di Sumatera Selatan dan North East Salawati di Papua, Total Fina Elf di lapangan Tambora di Kalimantan, Caltex di lapangan Likan dan Kelok di Riau, dan ConocoPhilips Indonesia (COPI) di lapangan Belanak, Natuna. Satu-satunya perusahaan domestik adalah, Medco Energy, milik Arifin Panigoro dimana direktur keuangannya, Sugiharto, kini menjabat sebagai menteri negara BUMN.

Dari seluruh perusahaan asing ini, yang baru beroperasi hanyalah ConocoPhilips Indonesia. Sisanya, termasuk Medco Energy, masih bersikap wait and see. Sikap ini diambil karena adanya pasal 31 UU Migas yang menyebutkan bahwa investor migas wajib membayar PPN, pajak impor, pungutan-pungutan, dan sebagainya sejak fase pada fase eksplorasi. Artinya, sebelum menghasilkan pun mereka sudah dipajaki. Mana ada yang mau?

Gas Sebagai Alternatif
Sebagaimana dikatakan di atas, Wapres Jusuf Kalla menganjurkan rakyat kecil untuk menjadikan gas sebagai alternatif, karena harganya yang lebih murah. Walaupun sama-sama disubsidi, harga bahan bakar gas (BBG) memang lebih murah ketimbang harga BBM. Sebagai misal, harga BBG untuk kendaraan Rp. 700 per liter, dan harga ekonominya Rp. 1.550. Bandingkan dengan harga premium bersubsidi sebesar Rp. 1.810 per liter. Selain itu, seperti dikatakan Rahmat Sudibyo, jumlah cadangan gas mencapai 170 triliun kaki kubik, yang diperikarakan cukup digunakan selama 60 tahun.

Tetapi, masalah tidak selesai hanya karena harga BBG lebih murah dan jumlah yang melimpah. Ternyata, walaupun harga BBG murah, sebagian besar darinya yakni, 55 persen diekspor ke Jepang, Korea, Taiwan, dan China. Akibatnya, industri dalam negeri megap-megap. Hasilnya, pemerintah akhirnya menutup pabrik pupuk Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Aceh. Hal yang hampir sama menimpa pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA), dimana sejak triwulan pertama tahun 2004 sudah berhenti mengepul dan karyawannya sudah dirumahkan. Diperkirakan keadaan kekurangan pasokan ini baru akan teratasi pada tahun 2007 (Kontan, 6/12/2004).

Dari segi infrastruktur, stasiun pengisian BBG (SPBBG) tersedia dengan sangat tidak memadai. Di Jakarta hanya ada 17 SPBBG, dan tinggal 11 unit yang beroperasi. Secara nasional hanya ada 26 SPBBG, yang tersebar di Surabaya, Malang, dan Palembang. Di samping itu, biaya untuk pembangunan SPBBG tidak kecil, yakni Rp. 4 miliar per stasiun, belum termasuk biaya operasional (Trust, 29/11 ñ 5/12/2004). Masalah juga kian bertambah karena harga gas juga masih sangat fleksibel di pasaran. Sebagai contoh, di sejumlah SPBBG di Jakarta, harga gas tiba-tiba melonjak dari Rp. 700 menjadi Rp. 1.550 atau meningkat sebesar 120 persen (Kompas, 4/12/2004).

Kesimpulan
Dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini, dimana rakyat kecil-lah yang paling merasakan kesulitan itu, secara teoritik dan empirik tak ada alasan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Kecuali jika pemerintahan SBY-Kalla ini memang bertingkah seperti rejim neoliberal di banyak negara Amerika Latin: "Selama kampanye berjanji untuk menyejahterakan rakyat tapi, begitu berkuasa membalikkan punggungnya di hadapan rakyat."

Rencana menaikkan harga BBM pada tahun 2005 nanti, jelas sekali menunjukkan bahwa pemerintahan baru ini tidak membawa perubahanyang substantif. Pemerintahan SBY-JK ternyata hanya berubah dalam retorika tapi, esensinya mereka melanjutkan dan mengukuhkan kebijakan neoliberal yang pondasinya telah dibangun oleh pemerintahan sebelumnya.

Dalam hal keinginan menaikkan harga BBM, kita harus segera sadar bahwa bulan madu telah berakhir. Meminjam dogma neoliberal, "rakyat yang telah menderita harus menyelesaikan sendiri penderitaannya."

posted by Coen Husain Pontoh at 6:36 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar