Minggu, 01 November 2009

Mitos Investasi Asing

Wednesday, August 03, 2005
Mitos Investasi Asing

Pada artikel sebelumnya (lihat, “Bermimpi Mengejar Investasi Asing”), saya mengemukakan adalah mimpi jika kita mengharapkan investasi asing masuk ke dalam negeri. Secara faktual, saya membeberkan angka-angka yang menunjukkan bahwa besaran dana yang mengalir dari negara-negara kapitalis maju ke negera-negara kapitalis terbelakang, sangatlah kecil. Orang Betawi bilang, jumlahnya recehan doang.

Secara teoritis pun, sejak dekade 1970an, para teoritisi aliran ketergantungan telah meyimpulkan bahwa hubungan antara negara kapitalis pinggiran dengan negara kapitalis maju hanya akan mendatangkan kerugian terhadap pihak pertama. Bentuk hubungan itu bisa dalam wujud perdagangan ataupun investasi asing. Itu sebabnya Samir Amin, salah satu pentolan dari aliran ini, hingga kini terus mengampanyekan agar negara kapitalis pinggiran segera memutuskan hubungannya dengan negara kapitalis maju, jika mereka ingin negaranya bebas dari keterbelakangan dan kemiskinan. Termasuk yang harus diputuskan itu adalah investasi asing, karena investasi asing merupakan salah satu pemicu pengintegrasian ekonomi negara kapitalis terbelakang ke dalam ekonomi negara kapitalis maju.

Tetapi walaupun sederet fakta kita beberkan dan setumpuk buku teoritis diterbitkan, tetap saja sebagian besar rejim-rejim di negara berkembang berlomba-lomba untuk mendandani dirinya agar tampil cantik di hadapan investor asing. Tidak terkecuali rejim rejim Susilo-Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, yang tetap menjunjung semangat ‘45 guna menarik investasi asing sebesar-besarnya.

Pertanyaannya, mengapa fakta yang konkret itu diabaikan oleh rejim yang berkuasa? Jawaban atas pertanyaan ini, jelas harus mengabaikan angka-angka yang riil. Kita harus masuk pada cara berpikir dan keyakinan teoritis yang membelenggu rejim ini. Tetapi nampaknya masalah investasi asing ini bukan hanya persoalan fakta atau keyakinan teoritis. Lebih dari itu keyakinan terhadap manfaat investasi asing ini sudah menjadi mitos. Sesuatu yang tidak bermanfaat tapi dipercaya bisa memberikan manfaat. Sungguh berbahaya bukan?

Menurut James Petras, ada enam mitos tentang keuntungan yang bisa diraup negara berkembang dari keberadaan investasi asing (foreign investment). Pertama, investasi asing akan menciptakan pengusaha-pengusaha baru, menambah atau memperluas pasar dan merangsang penelitan serta pengembangan teknologi “know-how” yang baru. Faktanya, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman selama Orde Baru dan sesudahnya, sebagian besar investasi asing diarahkan melalui pembelian perusahaan-perusahaan publik yang menguntungkan melalui jalan privatisasi atau mengambilalih perusahaan-perusahaan swasta yang sudah ada, mengambilalih pasar yang sudah ada dan menjual atau menyewakan desain teknologi dan dikembangkan sebagai “home office.”

Selama kekuasaan Orba yang berlanjut hingga kini, pengusaha-pengusaha yang muncul adalah mereka yang berada di di lingkaran orbit kekuasaan; pengusaha yang muncul adalah pengusaha karbitan, jago kandang, yang hanya bisa hidup selama berlindung di bawah ketiak penguasa. Industri yang berkembang pun adalah industri tukang jahit, bukan industri dasar bersifat padat modal padat teknologi. Yang betul-betul mandiri adalah mereka yang berada di kelompok menengah bawah. Dampak selanjutnya, pasar domestik tidak berkembang seperti yang diharapkan. Justru, seiring dengan penerapan deregulasi dan debirokratisasi, rejim Orba memaksa pengusaha untuk mengorientasikan produksinya ke pasar internasional.

Mitos kedua, investasi asing akan meningkatkan persaingan industri ekspor, dan merangsang ekononi lokal melalui pembelian dan penjualan sektor kedua dan ketiga. Kembali menengok ke masa Orba, ekonomi nasional justru bersifat monopolistis dan oligopolistis. Di kalangan luas beredar apa yang disebut The Gang of Four, yakni beberapa orang pengusaha kakap yang memonopoli sektor-sektor ekonomi tertentu dalam masyarakat.

Persaingan usaha yang sehat hanya terjadi di sektor informal dan usaha kecil-menengah. Begitu ketatnya persaingan itu, sehingga ada yang secara ironis mengatakan, dari hasil persaingan itu lebih banyak yang mati ketimbang yang tumbuh membesar. Akibatnya struktur dunia usaha yang timpang warisan jaman kolonial, tak pernah lenyap. Bahkan kiang melebar

Mitos ketiga, investasi asing menyediakan pembayaran pajak untuk memperkuat pembiayaan lokal dan pembayaran dengan uang untuk membiayai impor. Kenyataannya, investasi asing terlibat dalam penyelewengan pajak besar-besaran, melakukan praktek penipuan (misalnya menghargai rendah) pembelian perusahaan-perusahaan publik, dan pencucian uang dalam skala besar.

Mitos keempat, pengelolaan utang luar negeri adalah mendasar untuk mengamankan pembayaran barang-barang bernilai tinggi dalam pasar internasional dan mengelola kesatuan sistem keuangan. Kedua hal ini sangat krusial dalam perbincangan pembangunan.

Mitos kelima, pada umumnya negara-negara Dunia Ketiga tergantung pada investasi asing untuk menyediakan modal yang dibutuhkan bagi pembangunan sejak sumberdaya-sumberdaya lokal tidak tersedia atau tidak mencukupi.

Faktanya, investasi asing yang ditanamkan di sektor minyak bumi, seperti Exxon-Mobil Oil, atau yang bergerak di sektor pertambangan seperti PT Freeport Indonesia, tidak banyak memberikan manfaatnya bagi pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Bahkan, seperti yang kini di alami, terjadi kelangkaan minyak dimana-mana. Di Papua Barat, keberadaan PT Freeort Indonesia malah menempatkan posisi provinsi tersebut ke deretan provinsi termiskin di Indonesia.

Dengan kata lain, modal yang ditanamkan itu hanya dimaksudkan untuk mengeksploitasi kekayaan sumberdaya alam kita untuk kemudian keuntungan dibawa pulang ke negeri asal investasi tersebut. Inilah yang dalam literatur ekonomi internasional di sebut pelarian modal (capital flight), yang dalam kasus Meksiko, menyebabkan negara itu masuk dalam era kegelapan (dark age) di pertengahan tahun 1990an.

Mitos keenam, para penyokong utama investasi asing berpendapat bahwa masuknya investasi asing akan mendatangkan investasi asing yang lebih besar lagi dan menjadi “penyangga pembangunan.”

Lagi-lagi, mitos ini terbukti salah dalam realitas ekonomi kita. Kalau kita teliti besaran investasi asing yang masuk secara besar-besaran ke Indonesia, hal itu disebabkan oleh empat hal: (1) adanya jaminan stabilitas politik yang diberikan oleh rejim Orba. Dengan jaminan ini, investor memiliki kepastian akan masa depan investasinya; (2) adanya potensi pasar yang sangat besar di Indonesia, dalam hal ini adalah jumlah penduduknya; (3) adanya pasar tenaga kerja yang supermurah dan superfleksibel. Di bawah politik perburuhan rejim Orba, kaum buruh dipaksa untuk tunduk pada logika pasar, dilarang berorganisasi apalagi melakukan aksi-aksi demonstrasi; dan (4) adanya sumberdaya alam yang sangat kaya yang belum terolah secara maksimal.

Tetapi, setelah kekuasaan Orba tidak lagi utuh dan hegemonik, ketika kaum buruh semakin berani melakukan aksi-aksi perlawanan, ketika kekayaan sumberdaya alam yang hendak dikeruk semakin berkurang, dan ketika iklim ekonomi internasional berubah dengan makin berorientasi ke negeri-negeri kapitais maju, jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia semakin berkurang. Bahkan dalam waktu-waktu terakhir ini, sudah sering kita mendengar tentang larinya para investor asing dari Indonesia. Keadaan ini membuktikan bahwa logika investasi asing tidak bersifat linier, tetapi sangat tergantung pada kondisi ekonomi-politik negara yang bersangkutan.

Yang lebih parah, investasi asing membuat ekonomi nasional semakin tergantung pada dinamika ekonomi internasional. Tak heran mengapa krisis yang terjadi pada pertengahan 1997 itu dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang baht Thailand terhadap dollar Amerika Serikat. Dari Thailand, krisis itu lalu menyebar ke Indonesia, yang hingga kini belum tahu kapan akan pulih kembali. Dan karena integrasi itu sangat dalam, maka ketika krisis datang dalam sekejap ekonomi nasional bangkrut. Tiba-tiba, para pengusaha kakap yang sebelumnya bergelimang uang mendapatkan dirinya telah bangkrut dan terlilit utang triliuan rupiah. Yang dulunya pahlawan, lantas menjadi pecundang. Yang sebelumnya penderma, nyatanya adalah pencoleng.

Tetapi, ketika saya hendak menutup artikel ini, mendadak teman saya menyela,

"Ada kok yang tidak berubah sejak dulu."

"Maksudmu?"

"Yang tidak berubah kondisinya sejak sebelum krisis dan sesudah krisis. Mereka adalah rakyat Indonesia, mereka tetap miskin."

posted by Coen Husain Pontoh at 11:43 PM

2 Comments:
Wisnu said...
bung pontoh,

kalo bukan dengan investasi asing dengan apa dong suatu negara bisa sejahtera dan kaya? republik irlandia, singapura, korsel, taiwan, malaysia, semuanya menjadi sejahtera dan makmur dengan investasi asing. ada nggak satu negara menjadi sejahtera tanpa investasi asing?

mohon diberikan contoh.

salam,
wishnu
jakarta

wishnu8289@yahoo.com

6:45 AM


Anonymous said...
Bung Wisnu, Menurut saya India adalah negaranya. Walaupun sekarang sudah banyak Investasi asing tapi negara yang melakukan investasi ngga bisa sembarangan mendikte India. Itupun berlaku sampai sekarang.

1:46 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar