Minggu, 01 November 2009

Rekening Kas Negara, Jatah Asig Juga

REKENING KAS NEGARA, JATAH ASING JUGA
Dradjad Wibowo
Wakil Ketua F-PAN DPR RI, Ekonom INDEF

Saya semakin mujur karena Depkeu dan BI tidak mau membatasi kepemilikan asing di perbankan. Kalau saya mau mengeruk dana dari pasar modal, gampang saja karena oknum pasar modal mudah disogok. Bursa Efek Jakarta juga gampang saya goreng. Mau pecat karyawan? Sama gampangnya. Karena oknum Depnakertrans lebih mudah disogok.
Sekarang, Depkeu hendak memindahkan dana likuiditas pemerintah dari BI ke bank umum. Ini jelas makanan empuk buat saya. Karena apa? PERTAMA, peraturan perundang-undangan memungkinkan saya untuk ikut merebut dana tersebut dari BI.
Undang-Undang No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 22 ayat 4 menyebutkan, "Dalam pelaksanaan operasional penerimaan dan pengeluaran negara, Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening penerimaan dan rekening pengeluaran pada bank umum." Lalu Pasal 22 ayat 8 berbunyi, "Rekening pengeluaran pada bank umum diisi dengar dana yang bersumber dari Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral."
Jadi, undang-undang tersebut menjadi 'Kuda Troya' saya untuk menguasai dana yang bersembunyi di BI. Di sini saya harus mengakui kejeniusan pimpinan Depkeu.
Saat menyiapkan RUU pada tahun 2003, mereka sudah mengetahui kalau bank-bank eks BPPN dikuasai asing. Toh dalam UU No.1/2004 mereka tetap menyebut ’bank Umum’ bukan ’bank BUMN’. Artinya, mereka jauh-jauh hari sudah membolehkan saya berebut dana rekening pengeluaran tersebut.
Bagaimana kalau saya dilarang? Jelas akan saya adukan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Juga akan saya tuntut ke pengadilan karena larangan tersebut membatasi persaingan.
KEDUA, selama ini saya direpotkan oleh peraturan-peraturan BI yang memperketat giro wajib minimum dan mempersulit likuiditas untuk berspekulasi di pasar uang. Jika nanti Depkeu memindahkan Rp 10 triliun – Rp 60 triliun dari BI ke bank umum, saya akan memiliki tambahan likuiditas untuk bermain di pasar. Karena induk saya ada di Singapura, Kuala Lumpur, Hong Kong, London dan pusat keuangan lainnya, saya leluasa bermain-main dengan rupiah, pasar modal, dan aset keuangan lainnya.
Dengan tambahan likuiditas, bodoh sekali kalau saya tidak mencoba menyerang rupiah. Bisa Anda bayangkan cantiknya kalau saya memakai uang dari BI untuk memperoleh keuntungan dari menyerang rupiah. Jika suku bunga SBI naik, saya masih mendapat keuntungan tambahan melalui berbagai trik arbitrase.
KETIGA, saya sangat yakin bisa mengalahkan bank BUMN dalam merebut dana di atas. Bank BUMN sekarang dihantui tingkat non-performing loan (NPL) yang sangat tinggi. Jadi sulit bagi mereka memberikan suku bunga yang kompetitif kepada Depkeu.
Apalagi, dengan adanya penyidikan terhadap mantan Kepala BPPN, bank BUMN semakin takut mengambil inisiatif restruk-turisasi aset untuk menurunkan NPL. Mereka memang sudah memiliki nota kesepahaman dengan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) untuk menyelesaikan kredit macetnya. Tapi kalau mereka melelang di bawah nilai buku, mereka bisa dikenai tuduhan merugikan negara. Saya tahu mereka tidak memiliki payung hukum yang melindungi mereka.
Bank BUMN juga mengalami kesulitan menyalurkan kredit korporasi. Banyak debitor besar yang merasa tidak nyaman lagi berurusan dengan bank BUMN. Apalagi BPK sering tidak bisa membedakan antara keputusan bisnis perbankan dan penyelewengan.
Kalau bank BUMN bersaing memberikan diskon bunga, oleh BPK hal tersebut bisa dilaporkan sebagai penyelewengan. Padahal, itu merupakan bagian dari persaingan bisnis perbankan.
Karena itu, kalaupun bank BUMN mendapat jatah dana Rekening Pengeluaran, ujung-ujungnya mereka akan lari ke SBI. Dengan situasi seperti itu, saya bisa dengan mudah mengalahkan mereka. Baik dalam persaingan merebut dana Rekening Pengeluaran, maupun dalam bisnis perbankan secara umum.
KEEMPAT, dana dari Rekening Pengeluaran tersebut memungkinkan saya memperluas jaringan nasabah dan memasuki berbagai bisnis di Indonesia. Ini karena, dana tersebut dipakai berbagai proyek pemerintah. Belum lagi, negara saya bisa menekan Depkeu agar untuk proyek yang dibiayai dari pinjaman dan hibah negara saya, Rekening Pengeluarannya menggunakan bank saya.
Sungguh sebuah potensi yang luar biasa menggiurkan. Sebagai catatan, saya tidak tertarik memperoleh Rekening Penerimaan karena saldonya harus disetor ke BI setiap akhir hari kerja.
Jadi, dibolak-balik bagaimana-pun, saya adalah orang yang paling diuntungkan jika Depkeu jadi memindah dananya. Meski, dalam hati saya tidak habis pikir, kenapa pimpinan Depkeu sedemikian naif? Atau jangan-jangan mereka memang bermaksud membantu sava?
Jangan-jangan Depkeu tidak berani merundingkan hal ini karena memiliki kewajiban yang belum diselesaikan dengan BI, dalam bentuk Surat Utang Pemerintah (SUP) No 001-004 yang nilainya per Agusrus 2005 Rp220,4 triliun, dengan bunga 3% atas pokok yang diindeks dengan inflasi.
Kedua, bukankah Depkeu ingin agar inflasi bisa dikendalikan? Jika dana Rekening Pengeluaran tadi dipindah ke bank umum, jumlah uang yang beredar akan naik. Tekanan inflatoir bertambah, sehingga suku bunga SBI terdorong naik. Hasil akhirnya, beban bunga obligasi yang ditanggung APBN juga naik.
Dalam kondisi seperti ini, pertanyaannya berapa bunga yang harus dibayar oleh bank umum atas rekening pengeluaran di atas? Jika bunganya di bawah SBI, mengapa Depkeu tidak memintanya dari BI saja? Jika sama dengan atau lebih tinggi dari suku bunga SBI, bank umum akan memperoleh margin bunga dari mana? Kalau dari kredit korporasi, berarti bank umum milik asing yang paling berpotensi.
Akibatnya, kenaikan suku bunga SBI 1 % saja sudah bisa menghapus potensi penerimaan APBN dari pemindahan dana Rp40 triliun-Rp50 triliun.
Sedangkan masyarakat akan terbebani inflasi yang semakin tinggi. Risiko spekulatif atas rupiah juga semakin tinggi, dan biaya operasi moneter semakin mahal. BI juga harus memperketat lagi GWM untuk mengendalikan likuiditas di perbankan.
Tapi untuk apa saya repot memikirkannya? Yang penting saya untung. Karena itu saya harus menjamin agar Departemen keuangan dan tim ekonomi pemerintah tetap dikuasai oleh orang-orang yang pro kepada bankir, kreditor dan atau investor asing seperti saya. Saya benar-benar suka Indonesia.
Media Indonesia 20/02/06 Page 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar