Minggu, 01 November 2009

Tuntutan Negara Berkembang pada Perundingan NAMA - WTO

NEGARA-NEGARA BERKEMBANG MINTA ADANYA RUANG KEBIJAKAN DALAM PERUNDINGAN NAMA

Sepuluh negara berkembang dalam perundingan akses pasar produk-produk non-pertanian (NAMA – Non-Agricultural Market Access) meminta adanya ruang kebijakan sehingga mereka mampu untuk melakukan pembangunan industri nasional masing-masing.

Kelompok yang dikoordinasi oleh India ini terdiri dari beberapa negara, termasuk Argentina, Brasil, Mesir, Indonesia, Namibia, Filipina, Afrika Selatan, Tunisia, dan Venezuela.

Ketika memperkenalkan kelompok ini, dan berbicara mewakili kelompok tersebut dalam sesi diskusi NAMA tidak resmi baru-baru ini, Duta Besar India untuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Ujal Singh Bhatia, menyebutkan: ‘tujuan utama dari kelompok ini adalah mendapatkan kembali dan menekankan isi pembangunan dalam Putaran’ Doha.

Negara-negara anggota kelompok ini telah bekerjasama sejak sebelum dimulainya Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Hong Kong bulan Desember lalu. Kelompok ini juga telah memasukkan posisi-posisi kolektif mereka dalam berbagai hal mengenai perundingan NAMA, khususnya dalam isu perlakuan khusus dan berbeda (SDT – Special and Differential Treatment) dan masalah peraturan ‘tidak timbal balik’ dalam komitmen penurunan tarif industri.

Negara-negara anggota negara-negara maju, khususnya Uni Eropa, telah menekankan pentingnya untuk menghubungkan kedua hal di atas. Mereka mengajukan argumentasi bahwa apabila negara-negara berkemang ingin adanya pemotongan tarif yang tidak terlalu drastis, mereka harus menentukan SDT seperti apa yang mereka inginkan.

Dalam hal ini, Duta Besar India menyebutkan bahwa ‘negara-negara berkembang tidak bisa diharapkan untuk membayar terlalu besar untuk membantu reformasi sektor pertanian di negara-negara maju’.

Merujuk pada paragraf 24 dari Deklarasi Menteri Hong Kong, Bhatia menambahkan bahwa kelompok ini mendukung keputusan para menteri agar ada keseimbangan dalam tingkat komitmen negara-negara anggota dalam sektor pertanian dan NAMA.

Menurutnya, tingkat ambisi di NAMA tidak bisa dilihat sebagai satu hal saja, tetapi juga harus dilihat dari kontribusi apa saja yang telah diberikan negara-negara anggota di berbagai area dalam perundingan akses pasar, khususnya dalam sektor pertanian.

Tentunya, menurut Bhatia lebih jauh, ‘negara-negara berkembang tidak bisa diminta untuk membuka pasar mereka sepenuhnya dalam putaran perundingan ini’. Pihak India juga menjelaskan bahwa kelompok ini sama sekali tidak lari dari komitmen penurunan tarif mereka. Akan tetapi, menurut Bhatia, penurunan tarif harus dilakukan sesuai yang dibutuhkan masing-masing negara, dengan basis hubungan tidak timbal-balik sehingga konsesi negara-negara berkembang sesuai dengan tingkat pembangunan industri mereka masing-masing.

Dia juga menunjukkan kepada negara-negara anggota bahwa, meskipun liberalisasi dan reformasi sedang dilakukan dalam sektor industri mereka, sebagaian besar dari produksi dan penyerapan tenaga kerja mereka masih terfokus pada industri-industri yang sensitif.

Untuk alasan inilah, menurut Duta Besar Bhatia, kelompok ini mengajukan argumentasi bahwa ‘paragraf 8 (dari kerangka NAMA) merupakan bagian penting dari fleksibilitas yang dibutuhkan oleh negara-negara berkembang dalam mengatur proses penyesuaian diri dengan proses penurunan tarif’.

Dengan demikian, ‘kami mendukung’ keputusan para menteri di dalam paragraf 15 dari Deklarasi Hong Kong untuk menekankan ‘pentingnya SDT dan prinsip hubungan tidak timbal-balik dalam komitmen penurunan tarif, termasuk paragraf 8 dari kerangka NAMA, sebagai bagian penting dari modalitas NAMA’.

Namun Bhatia tidak menjelaskan apabila negara-negara anggota kelompok ini saling berbagi pandangan yang sama mengenai detil formula yang digunakan untuk menurunkan tarif industri nantinya.

Pada sesi diskusi NAMA tidak resmi, Duta Besar Bhatia, berbicara mewakili kelompok ini, juga mengemukakan bahwa tak semua negara-negara berkembang dapat mengambil keuntungan dari perundingan perdagangan. (AC)

Sumber:

Goh Chien Yen, TWN Info Service on WTO and Trade Issues, 7 Pebruari 2006.

KEPRIHATINAN TERHADAP MAKALAH ‘JANGKA-WAKTU’ PADA PERTEMUAN TNC

Komite Perundingan-Perundingan Perdagangan (TNC – Trade Negotiations Committee) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melakukan pertemuan pertamanya pada tanggal 7 Pebruari sejak diadakannya Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Hong Kong. Dalam kesempatan itu, Direktur Jendral (Dirjen) WTO, Pascal Lamy, meminta negara-negara anggota WTO untuk mempercepat proses perundingan apabila kesepakatan dapat dicapai sesuai jadwal yang telah ditentukan sebelumnya.

Menurut Lamy, saat ini penting sekali untuk bergerak cepat merundingkan berbagai elemen dari naskah-naskah yang diperlukan dan untuk mendiskusikan secara mendetil berbagai peraturan dan formula-formula yang akan digunakan dalam mendorong pembukaan pasar negara-negara anggota.

Lamy juga menyinggung satu dokumen mengenai tenggat waktu bagi berbagai perundingan-perundingan yang akan diadakan selama masa pasca-Hong Kong. Dokumen ini, Timelines 2006, telah dibagikan sebagai dokumen tidak resmi WTO (JOB 6/13).

Selama pertemuan TNC, Venezuela mempertanyakan legitimasi dari dokumen tersebut, dengan mengatakan bahwa dokumen ini telah memperkenalkan berbagai ‘keharusan’ baru yang belum pernah disepakati sebelumnya di Hong Kong. Venezuela juga mengatakan bahwa mereka tidak merasa harus mengikuti tenggat waktu yang telah ditentukan dalam dokumen tersebut. Sejumlah negara-negara berkembang lainnya juga mengemukakan keprihatinan serupa mengenai dokumen tersebut.

Lamy mengatakan bahwa ia telah melakukan pembicaraan dengan negara-negara anggota pada berbagai tingkat dan di berbagai lokasi, termasuk dengan Kelompok Afrika, Kelompok ACP, kelompok negara-negara miskin, G20, dll. Dari pertemuan-pertemuan tersebut, Lamy mengaku mendapat tiga pesan yang jelas: bahwa kini ada kesamaan visi mengenai perlunya komitmen untuk menyelesaikan apa yang disepakati di Hong Kong; bahwa kini ada tujuan yang sama di antara negara-negara anggota untuk terus melanjutkan perundingan Agenda Pembangunan Doha (DDA – Doha Development Agenda); dan, bahwa adanya kepercayaan di antara negara-negara anggota untuk bergerak dari posisi mereka sekarang.

Lamy menyebutkan bahwa masalah sektor pertanian dan akses pasar produk-produk non-pertanian (NAMA – Non-Agricultural Market Access) masih tetap menjadi ujung tombak dari proses perundingan WTO.

Lamy juga merujuk pada satu makalah bahwa negara-negara anggota telah menerima penetapan jangka waktu untuk berbagai program kerja tahun ini. Makalah ini telah diproduksi pada akhir dari pertemuan terbatas tingkat menteri yang diadakan di pinggir Forum Ekonomi Dunia (WEF – World Economic Forum), di Davos baru-baru ini.

Lamy mengatakan bahwa makalah ini mengulang berbagai tenggat waktu yang disepakati dalam Deklarasi Menteri di Hong Kong mengenai sektor pertanian, NAMA, dan sektor jasa.

Menurut Lamy, makalah tersebut tidak dimaksudkan untuk dijadikan bahan diskusi, ataupun dirundingkan. Makalah ini tidak akan mengubah keseimbangan yang telah dicapai dalam Deklarasi Hong Kong. Lamy lebih jauh mengemukakan bahwa makalah ini hanya akan dijadikan alat untuk membantu negara-negara anggota, sekaligus para pemimpin dari berbagai kelompok-kelompok perundingan, agar tetap sesuai dalam jalur yang telah disepakati.

Lamy menyebutkan bahwa ia telah melakukan berbagai macam konsultasi dengan para delegasi di Jenewa dan di ibukota negara-negara anggota, termasuk melakukan berbagai pertemuan rutin dengan para koordinator dari kelompok-kelompok kawasan. Para menteri yang ditemuinya telah memberikan sejumlah daftar dari apa saja yang perlu ia lakukan tahun ini, termasuk memimpin TNC, mempercepat kerja untuk pelaksanaan, menyediakan informasi terkini mengenai bantuan pembangunan untuk kapas, dan bekerja secara fokus dalam hal bantuan untuk perdagangan.

Ketika melaporkan masalah pelaksanaan (implementation issues), Lamy mengatakan bahwa para menteri perdagangan telah memintanya untuk menggiatkan proses konsultasi terhadap semua isu pelaksanaan yang belum dibahas sesuai dengan paragraf 12(b) dari Deklarasi Menteri Doha. Lamy juga akan melaporkan dalam setiap pertemuan reguler TNC dan Dewan Umum.

Di bawah bahan agenda ‘Presentasi Negara-Negara Anggota’, delegasi Venezuela merujuk pada makalah Jangka Waktu 2006 (JOB 6/13) dan mengatakan bahwa negaranya tidak akan mempertimbangkan dokumen ini sebagai dokumen yang sah. Venezuela juga mengatakan bahwa apapun yang dikatakan Lamy, makalah ini sama sekali tidak mencoba membahas kembali apa yang menjadi kesepakatan para menteri di Hong kong. Dokumen ini, oleh sebab itu, tidak bisa dijadikan sebagai dokumen komplementer terhadap Deklarasi Menteri Hong Kong. (AC)

Sumber:

Kanaga Raja, TWN Info Service on WTO and Trade Issues, 2 Pebruari 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar