Minggu, 01 November 2009

Bermimpi Mengejar Investasi

Wednesday, November 24, 2004
Bermimpi Mengejar Investasi

Santiago, Cile, 21 Nopember 2004. Hari itu, setelah melakukan pertemuan multilateral selama dua hari, para pemimpin negara-negara anggota organisasi perdagangan Asia-Pasifik (APEC), mengeluarkan deklarasi Santiago. Dalam deklarasi itu, dengan slogan One Comunity Our Future itu, disepakati bahwa seluruh negara anggota APEC akan terus berkomitmen untuk melaksanakan pasar bersama yang saling menguntungkan.

Tetapi, sesungguhnya banyak pengamat menilai bahwa pertemuan di Santiago itu secara keseluruhan mengalami kegagalan. Malaysia misalnya, menilai bahwa forum telah dimanipulasi oleh negara-negara Barat (dalam hal ini Amerika Serikat dan Australia), untuk mendesakkan kepentingan nasionalnya, yang lebih menitikberatkan pada agenda politik ketimbang agenda ekonomi. Isu perang melawan terorisme jauh lebih penting ketimbang isu-isu ekonomi. Selain itu, muncul pula rivalitas tak terelakkan antara Cina dan AS dalam hal perdagangan kedua negara. Indonesia sendiri, melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memanfaatkan forum ini untuk membahas soal politik keamanan yang dipandang penting bagi kelangsungan investasi di negeri ini.

Kegagalan pertemuan yang memakan biaya besar ini juga, dibayang-bayangi oleh demonstrasi massa di luar gedung yang menuntut dihentikannya kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal. Kegagalan ini, tentu saja mendatangkan kegundahan. Paling tidak bagi seorang Desy Anwar, wartawan Metro TV yang memandu talkshow Economic Chalengge pada Selasa, 23/11/2004. Dalam acara yang menghadirkan ekonom-cum anggota parlemen Dididk J. Rachbini dan Kusfiardi, dari Koalisi Anti Utang, Desi dengan nada sesal terus mempertanyakan kegagalan pertemuan tersebut. ìBukankah liberalisasi perdagangan sangat penting bagi kita untuk meraup investasi?î

Desi hanyalah sedikit dari orang-orang yang percaya bahwa liberalisasi ekonomi adalah sesuatu yang menguntungkan bagi kita. Kalangan ini terus membangun kepercayaan, jika perekonomian kita semakin terbuka atau semakin liberal plus ada perbaikan serius pada institusi-institusi pasar, hal itu akan mendorong ekonomi nasional tumbuh berkembang, menjadi lebih kuat sehingga bisa sejajar dengan negara-negara maju saat ini. Sungguh kepercayaan ini seperti sebuah mitos, karena fakta-fakta empiris tidak memberikan dukungan yang meyakinkan.

Komposis Gerak Modal Internasional
Savas Michael Matsas, dalam artikelnya yang berjudul Globalization and Russia Today (2002), menunjukkan 95 persen dari total Foreign Direct Investment (FDI) mengambil tempat di negara-negara maju. Sisanya, sebesar 5 persen mengalir ke bagian dunia lainnya. Dari total 5 persen itu, sebesar 72 persennya mengalir dari satu negara industri maju ke negara industri maju lainnya. Sementara yang mengalir dari Utara ke Selatan hanya sebesar 2 persen. Dari besaran 2 persen itu, 75 persen FDI, khususnya yang diinvestasikan ke Afrika, Asia dan Latin Amerika, umumnya digunakan untuk membeli pabrik dan peralatan, baik dalam bentuk akuisisi dan merger perusahaan yang dimiliki oleh swasta atau membeli perusahaan publik yang diprivatisasi. Hanya 25 persen yang diinvestasikan untuk pembangunan pabrik-pabrik baru.

Kecenderungan yang sama terjadi pada konsentrasi aset perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Coen Husain Pontoh dalam bukunya Akhir Globalisasi (2003) menunjukkan, perusahaan-perusahaan multinasional sektor manufaktur yang berkantor pusat di Amerika Serikat pada 1987, 70 persen dari penjualan mereka dan 67 persen dari aset mereka ada di AS sendiri. Sebagian besar dari sisa penjualan dan aset mereka pada 1987 ada di Eropa dan Kanada. Demikian juga dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang berpusat di Eropa Barat, mendistribusikan penjualan produk dan aset mereka secara lebih luas tapi, antara 70-90 persen di antarana ada di negara ìindukî dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang manufaktur yang berpusat di Jepang, 75 persen dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di Jepang, begitu juga 97 persen aset mereka.

Konsentrasi aset dan penjualan di negara-negara industri maju, khususnya AS-Eropa-Jepang, juga dibuktikan dengan dominasi perusahaan-perusahaan multinasional (MNCís) di tiga negara tersebut. Dalam sebuah laporan mengenai 500 MNCís terbesar yang dilansir oleh Financial Times (Special Report FT Global 500) pada Mei 2004, terlihat bahwa dari 500 MNCís terbesar tersebut, 227 (45 persen) MNCís berkedudukan di AS, disusul oleh Eropa Barat dengan 141 (28 persen) MNCís, dan Asia dengan 92 (18 persen) MNCís. Ini berarti, ketiga blok perdagangan ini mengontrol sekitar 91 persen MNCís terbesar di dunia.

Kalau kita lihat lebih rinci lagi, dari peringkat 1 sampai 10 teratas dalam daftar 500 MNCís tersebut, 80 persen berkedudukan di AS dan 20 persen di Eropa. Sementara untuk 20 perusahaan teratas, 75 persen ada di AS, 20 persen di Eropa dan 5 persen di Jepang. Secara sektoral, dominasi MNCís asal AS juga tak tertandingi. Mari kita lihat satu persatu.

Sektor perdagangan:
Untuk sektor ini, MNCís asal AS mendominasi sepuluh teratas yakni, sebesar 80 persen. Menurut James Petras, dalam artikelnya The Economic Basis of Imperial Power (2004), dominasi AS ini bukan hal aneh mengingat ekonomi AS adalah basis terbesar untuk pengeluaran konsumsi, gelombang spekulasi dan hutang tingkat tinggi.

Sektor teknolog informasi:
Sama seperti sektor perdagangan, untuk sektor ini sepuluh MNCís teratas 80 persen dikuasai oleh MNCís AS, baru kemudian menyusul MNCís Eropa.

Sektor media dan hiburan:
Komposisinya masih tidak berubah, dimana sekitar 80 persen dari 10 MNCís terbesar (11-14) didominasi oleh MNCís AS. Dominasi media ini dimulai sejak pemerintah federal menghancurkan public media pada awal abad ke-20, dan monopolisasi radio, televisi, dan film oleh para konglomerat. Konglomerasi ini telah menyebabkan koranlokal, musik, dan film-film kultural mengalami kebangkrutan. Yang menarik, seperti diuraikan Petras, konsentrasi kepemilikan media tersebut dipercepat pertumbuhannya oleh intervensi kebijakan pemerintah melalui deregulasi dan promosi, dimana media dan hiburan juga dimaksudkan untuk melayani baik secara terbuka maupun tertutup propaganda militer AS untuk menaklukkan, menduduki, dan penetrasi.

Sektor militer/Kompleks industri:
Dari daftar 500 MNCís yang bergerak di sektor ini, dari 11 perusahaan raksasa teratas sembilan di antara adalah MNCís AS dan dua dari Eropa. MNCís ini memperoleh keuntungannya melalui pendirian lebih dari 180 basis militer di lebih dari 130 negara.

Sektor pelayanan komputer/software:
Apa boleh buat, dominasi AS masih terus berlanjut. Dari 10 perusahaan teratas, 6 di antaranya adalah MNCís AS. Namun demikian, posisi AS ini terancam oleh MNCís Jepang dan Eropa, dimana kedua negara ini menyumbang masing-masing dua MNC dalam daftar 10 teratas.

Sektor perbankan:
Lagi-lagi, MNCís AS mendominasi sektor keuangan dan kapital perbankan. Dari 10 perbankan terbesar di dunia, 60 persennya dikuasai oleh perbankan AS, diikuti Eropa sebesar 30 persen Eropa dan 10 persen sisanya datang dari Jepang.

Sektor Telekom, Minyak dan Gas, Asuransi, Farmasi, dan Manufaktur:
Untuk sektor telekom, dominasi AS digagalkan oleh Eropa yang menguasai sekitar 40 persen dari 10 perusahaan telekom teratas, diikuti oleh AS dan Asia dengan penguasaan sekitar 30 persen. Hal yang sama terjadi di sektor asuransi, dimana Eropa mendoiminasi sebesar 50 persen MNCís terbesar, disusul AS sebesar 40 persen, dan Jepang 10 persen. Di sektor migas, AS dan Eropa berbagi sama yang menempatkan masing-masing 4 dari 10 MNCís di ikut Rusia dan Brasil masing-masing 1 MNCís. Demikian juga untuk sektor farmasi, dimana AS dan Eropa sama-sama mendominasi 10 MNCís teratas.

Kesimpulan
Berdasarkan data-data empiris ini, sebenarnya liberalisasi ekonomi tidak otomatis menyebabkan investasi mengalir ke negara-negara berkembang. Di samping itu, di tengah-tengah dominasi perusahaan-perusahaan muiltinasional ini, daya tawar pemerintah nasional seperti Indonesia, sangat lemah. Tidak ada jalan lain untuk membujuk rayu MNCís tersebut untuk menginvestasikan modalnya di sini, kecuali memenuhi apa yang menjadi prioritas MNCís tersebut.

Kalau kita lihat apa yang menjadi kepentingan utama MNCís tersebut, tak lain tak bukan adalah privatisasi besar-besaran BUMN strategis yang bergerak di sektor migas, liberalisasi ekonomi, dan deregulasi yang menghambat arus investasi, seperti deregulasi undang-undang perburuhan, rangsangan pajak, upah buruh rendah dan kepemilikan yang tidak terbatas.

Di samping itu, kebutuhan untuk percepatan liberalisasi ekonomi, juga disebabkan oleh dominasi perusahaan AS yang makin lama makin lemah. Artinya, walaupun MNCís AS masih merupakan pemain yang sangat dominan tapi, keberadaannya semakin tergerogoti. Data tahun 2004 menunjukkan, ada sekitar 30 MNCís AS yang terlempar dari peringkat 500 MNCís terbesar di dunia. Sementara itu, yang sanggup masuk dalam jajaran 500 tersebut hanya sekitar 16 MNCís, atau bahkan hanya 14 (5 persen) Adapaun MNCís Eropa tidak bertambah dan juga tidak berkurang. Tantangan terbesar datang dari MNCís Jepang dan Asia, dimana untuk tahun 2003-2004 berhasil menempatkan 14 MNCís ke jajaran 500 atau meningkat sebesar 20 persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar