Minggu, 01 November 2009

BFTA AS - Thai dan ASEAN

KESEPAKATAN SHIN CORP. DAPAT BERDAMPAK PADA PERUNDINGAN BFTA AS-THAI

Keluarga Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, dilaporkan berencana untuk menjual sahamnya di Shin Corp. Plc. Kepada perusahaan telekomunikasi Singapura, Temasek Holdings. Penjualan saham ini dapat mempersulit perundingan kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BFTA – Bilateral Free Trade Agreement) antara Thailand dan Amerika Serikat (AS). Hal ini diungkapkan oleh seorang peneliti dari Institut Penelitian Pembangunan Thailand (TRDI – Thailand Development Research Institute).

Somkiat Tangkitvanich, Direktur Penelitian TDRI, mengungkapkan keprihatinannya bahwa tim perundingan Thailand untuk masalah telekomunikasi dapat dipengaruhi oleh bisnis telkom Perdana Menteri Thaksin, khususnya kini AS telah menyatakan kepentingannya untuk menyediakan jasa satelit secara langsung terhadap para pelanggannya di Thailand yang bersaing dengan unit usaha Shin Corp, Shin Sat.

Sektor jasa telekomunikasi merupakan agenda utama dalam perundingan BFTA AS-Thailand. Asisten Perwakilan Perdagangan AS (USTR – United States Trade Representative), Barbara Weisel, yang mengepalai tim perundingan AS, mengatakan bahwa para pejabat Thai dan AS sama sekali belum membahas secara detil masalah akses pasar untuk sektor jasa telekomunikasi selama diadakannya perundingan putaran keenam, yang diadakan baru-baru ini di Chiang Mai. Akan tetapi, Weisel mengaharapkan kedua pihak dapat membahas isu ini dalam waktu dekat.

Beberapa sumber menyatakan bahwa perundingan mengenai masalah akses pasar sektor jasa telekomunikasi cukup sulit dilakukan. AS meminta Thailand agar para penanam modalnya di Thailand diperlakukan sama selayaknya penanam modal domestik di bawah peraturan ‘perlakuan nasional’.

Somkiat menyatakan keprihatinannya apabila tim perundingan Thailand untuk sektor jasa telekomunikasi akan cukup bebas menentukan keputusan mengenai pembukaan sektor jasa yang menjadi kepentingan pemimpin Thailand.

Beberapa minggu belakangan ini, pasar terlihat naik-turun setelah mendengar adanya spekulasi bahwa telah muncul berbagai debat sengit mengenai Shin Corp dalam perundingan BFTA AS-Thailand. Sangat nyata adanya hubungan antara perundingan BFTA dan masalah Shin Corp. karena Perdana Menteri Thaksin memiliki kepentingan besar dalam sektor telekomunikasi, sedangkan AS telah meletakkan pembahasan mengenai akses pasar sektor jasa telekomunikasi di atas meja.

Beberapa pengamat perdagangan mengkritik usaha Perdana Menteri Thaksin untuk membuka pasar jasa telekomunikasi untuk AS. Beberapa pengamat lainnya melihat bahwa penjualan Shin Corp. kepada pihak Singpura mungkin sebagai tanda bahwa sektor telekomunikasi memang akan dibuka.

Somkiat, yang memiliki spesialisasi terhadap bidang ekonomi informasi, mengatakan bahwa banyak hasil yang mungkin berhubungan erat dengan kesepakatan Shin Corp. dan kesepakatan BFTA. Komisi Telekomunikasi Nasional (NTC – National Telecommunication Commission) yang bergabung dengan tim perundingan BFTA sepertinya dihadapi tekanan yang serius, menurut Somkiat.

Akan tetapi, ketua NTC, Choochart Promphrasid, mengatakan bahwa perundingan BFTA yang melibatkan NTC tidak ada sangkut-pautnya dengan sang perdana menteri. Dia mencoba memastikan kepada publik Thailand bahwa pihaknya telah melakukan segala hal yang perlu dilakukan agar semua prosedur dilaksanakan secara transparan.

Akan tetapi, masih ada beberapa isu yang masih belum bisa dijembatani oleh kedua pihak. Misalnya saja, masih menjadi tanda tanya apabila perusahaan-perusahaan AS akan mampu menggunakan fasilitas bersama seperti tiang komunikasi untuk menyediakan jasa kepada para pelanggan mereka.

Selain itu, AS juga akan mempertanyakan apabila perusahaan-perusahaannya akan mampu membuat kabel jaringan di Thailand.

Perundingan putaran ketujuh baru akan dilakukan dalam beberapa minggu mendatang. Akan tetapi, tanggal dan tempat masih belum ditentukan.

Apabila keluarga Thaksin memang memutuskan untuk menjual semua sahamnya di Shin Corp., keluarga Thaksin menjanjikan kepada pihak pembeli bahwa pemerintah Thailand tidak akan sepenuhnya meliberalisasi sektor telekomunikasi untuk melindungi industri ini untuk jangka waktu tertentu.

Meskipun apabila keluarga Thaksin tetap memegang saham mayoritas di perusahaan telekomunikasi ini, pemerintah tetap akan menyediakan perlindungan terhadap keseluruhan sektor telekomunikasi.

AS meminta akses pasar untuk sektor telekomunikasi termasuk pengoperasian satelit. Somkiat mengatakan bahwa pasar satelit terbuka akan berdampak terhadap Shin Corp. yang memiliki saham besar di Shin Sat, satu perusahaan yang beroperasi di bidang bisnis satelit. Pembukaan pasar sektor jasa telekomunikasi kepada AS juga akan menekan perusahaan afiliasi Shin Corp., Info Service, yang merupakan operator telpon genggam di Thailand.

Somkiat mengatakan bahwa liberalisasi pasar telekomunikasi sebenarnya dibutuhkan oleh Thailand karena bisnis dan individu di negara tersebut masih dihadapi biaya yang besar untuk menggunakan teknologi informasi. Menurutnya, liberalisasi pasar dapat mendorong penurunan harga. (AC)



Sumber:
Wichit Chaitrong, The Nation, 17 Januari 2006, tersedia pada situs resmi bilaterals: www.bilaterals.org/article.php3?id_article=3594


BFTA ASEAN-UE MULAI MASUK MASA PENJAJAKAN PENUH

Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) dan Uni Eropa (UE) mulai memasuki masa-masa ‘genting’ dalam tahap penjajakan sebelum diadakannya kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BFTA – Bilateral Free Trade Agreement) antara kedua pihak. Menurut pemimpin delegasi UE, Thierry Rommel, pertemuan tingkat tinggi ketiga di antara para pejabat perdagangan dari kedua pihak mulai berlangsung pada akhir bulan Januari ini.

Menurut Rommel, sebenarnya ‘masih belum ada keputusan apapun yang diambil, tetapi kami kini telah memasuki tahap penjajakan yang ketat’. Hal tersebut diungkapkan Rommel dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 19 Januari lalu guna menghadiri pertemuan yang membahas keuntungan skema umum preferensi UE kepada untuk para eksportir Malaysia. Pertemuan ini diorganisir oleh Federasi Manufaktur Malaysia.

Rommel mengatakan bahwa para pejabat perdagangan UE dan ASEAN telah melakukan sejumlah pertemuan di Vietnam dan Belgia tahun lalu, dan memutuskan untuk terlibat dalam satu bentuk konsultasi guna mempelajari potensi keuntungan dari BFTA ASEAN-UE.

Rommel juga menambahkan bahwa pertemuan yang lebih awal juga akan membahas posisi awal masing-masing pihak. Menurutnya, UE merasa bahwa BFTA di antara kedua pihak seharusnya meliputi ‘cakupan yang luas’. Bagi UE, BFTA merupakan satu instrumen yang sangat ambisius dan tak terbatas hanya pada pembahasan barang dan perdagangan dan isu-isu tarif saja.

UE menginginkan adanya harmonisasi peraturan perdagangan di bawah bentuk BFTA yang diusulkan. Dia juga menekankan bahwa BFTA ini haruslah ‘WTO-plus dan bukan sekedar bentuk terjemahan dari peraturan-peraturan WTO yang sudah ada kini’.

Sementara itu, negara-negara ASEAN juga memiliki pandangan mereka sendiri. ASEAN, misalnya, tidak ingin agar isu peraturan atas penyediaan barang-barang pemerintah (government procurement) tidak dimasukkan dalam perundingan.

Mengenai apakah isu Burma akan menjadi penghalang dalam perundingan BFTA ASEAN-UE, Rommel mengatakan ‘pada tahap ini, kami belum membahas isu Myanmar. Pembahasan masih terfokus pada sisi ekonomi’. Rommel juga mengatakan adanya kemungkinan UE untuk melakukan BFTA dengan masing-masing negara ASEAN, daripada sebagai satu blok perdagangan.

Ketika ditanya apakah UE telah merundingkan BFTA dengan Singapura, Thailand, dan Indonesia, Rommel mengatakan bahwa diskusi yang dilakukan UE dengna negara-negara tersebut bukanlah mengenai BFTA, tetapi mengenai kemitraan dan kerjasama, yang dapat meliputi berbagai macam isu, termasuk masalah keamanan, imigrasi, kerjasama ekonomi, dan hak-hak asasi manusia.

Meskipun demikian, para delegasi UE menekankan bahwa prioritas UE tetap diakhirinya proses perundingan Putaran Doha di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Sementara itu, seorang pengamat politik dari French Institute of International Relations, Pierre Defraigne, mengatakan bahwa UE masih mencoba untuk melihat BFTA dalam konteks yang lebih luas untuk melakukan perundingan dengan masing-masing negara ASEAN. Menurutnya, ‘apabila kita terlalu jauh untuk melakukan kesepakatan dengan sejumlah negara, misalnya, tentunya hal ini tidaklah sesuai dengan kebijakan UE secar keseluruhan; akan tetapi, pendekatan ini tentunya harus sesuai dengan komitmen untuk memperluas kesepakatan dengan semua negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, sangatlah penting agar ASEAN dapat tetap komitmen terhadap agenda integrasi ekonominya.

Menurut Defraigne, ‘kami pikir ASEAN merupakan satu elemen kunci terhadap terciptanya keseimbangan kawasan. ASEAN penting dalam kecenderungan multipolaritas dari sistem multilateral’. Apabila ASEAN gagal dalam usaha mengintegrasikan dirinya, tentunya negara-negara anggotanya, seperti Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina tidak akan terlihat begitu nyata dalam peta dunia. (AC)
Sumber:
Kevin Tan, The Edge Daily, 18 Januari 2006, pada situs resmi bilaterals.org
http://ww.bilaterals.org/article.php3?id_article-3614;
Jeana Wong, 19 Januari 2006, pada situs resmi Channel News Asia:
http://www.channelnewsasia.com/stories/singaporebusinessnews/view/189011/1/.html
Global Justice Update Volume IV, No. 57, 1-15 Pebruari 2006
ik, 16-Februari-2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar