Minggu, 01 November 2009

Mitos dan Kenyataan - WTO

MITOS DAN KENYATAAN: DAMPAK BFTA AS-THAI TERHADAP AKSES KE OBAT-OBATAN

10.000 pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), petani kecil, dan pejuang hak pengidap AIDS dan kesehatan publik Thailand berdemonstrasi di Chiang Mai dari tanggal 9 hingga 11 Januari lalu. Demonstrasi yang mereka lakukan diarahkan pada putaran keenam perundingan kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BFTA – Bilateral Free Trade Agreement) antara Amerika Serikat (AS) dengan Thailand. Ratusan demonstran sempat mengepung tempat dilangsungkannya proses perundingan, yang menyebabkan pemerintah Thailand memindahkan tempat dilangsungkannya perundingan. Sebagai ganti terhadap berbagai janji ilusi tentang masa depan akses perdagangan produk-produk Thailand, AS berharap untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, termasuk: pemangkasan tarif untuk produk-produk pertanian dan berbagai bentuk produk ekspor lainnya yang disubsidi, peningkatan hak-hak kepemilikan intelektual bagi perusahaan-perusahaan farmasi multinasional, perangkat lunak, dan produk-produk hiburan, memberikan hak kepada penanam modal untuk dapat mengajukan tuntutan di depan pengadilan, dan akses industri sektor jasa ke sektor keuangan, telekomunikasi, dan industri asuransi.

Banyak bentuk perlawanan muncul dari para pegiat LSM AIDS, yang memperkirakan bahwa peningkatan penggunaan hak kepemilikan intelektual terhadap produk-produk obat-obatan dan registrasi data akan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap obat-obatan generik yang murah. Hal ini tentunya berdampak buruk bagi para pengidap penyakit AIDS di Thailand. Program pemberian subsidi kepada para pengidap AIDS untuk mendapatkan perawatan sebenarnya telah banyak diacungi jempol oleh masyarakat dunia, dan hal ini dimungkinkan sebab persaingan di antara produsen obat-obatan AIDS menyebabkan harga cukup rendah untuk saat ini. Dikarenakan adanya program seperti ini, Thailand kini mampu merawat sekitar 80.000 dari total sekitar 170.000 pasien AIDS. Meskipun program akses obat-obatan terus diperbesar, kemampuan program ini untuk mempertahankan kesempatan untuk memperluas sistem perawatan dengan terapi yang lebih baru dan mahal menjadi terancam karena adanya perundingan BFTA dengan AS.

Meskipun AS awalnya telah memenangi perlindungan kepemilikan intelektual di perundingan-perundingan multilateral yang menghasilkan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan jalur ke Kesepakatan Aspek-Aspek yang Berhubungan dengan Perdagangan Hak-Hak Kepemilikan Intelektual (TRIPS – Trade-Related Intellectual Property Rights), AS kini mulai memfokuskan dirinya terhadap kesepakatan perdagangan yang dilakukan baik pada tingkat kawasan ataupun bilateral. Hal ini mereka lakukan guna mendapatkan hak monopoli untuk industri farmasi.

Beberapa mitos mengenai kesepakatan BFTA AS-Thailand:

Mitos 1:
BFTA AS-Thai tidak akan meningkatkan harga obat-obatan generik di Thailand; obat-obatan generik akan terus tersedia pada harga yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan Thailand; kebanyakan obat-obatan HIV/AIDS adalah obat-obatan generik.

Kenyataannya:
Pernyataan seperti ini benar-benar satu kebohongan besar. Memang benar bahwa BFTA tidak akan berdampak pada harga obat-obatan generik yang sebelumnya memang telah diproduksi. Akan tetapi, peraturan-peraturan baru akan meningkatkan harga obat-obatan baru yang akan dikeluarkan, khususnya bersamaan dengan meningkatnya perusahaan-perusahaan obat-obatan yang mematenkan produk-produk mereka.

Mitos 2:
AS tidak mengajukan usulan untuk perluasan paten melebihi 20 tahun yang sudah menjadi peraturan di Thailand; eksklusivitas data didak memperpanjang paten itu sendiri.

Kenyataan:
AS telah meminta perpanjangan jangka waktu paten di hampir semua BFTA yang diajukannya. Beberapa sumber telah mengkonfirmasikan bahwa AS memang mencari perpanjangan jangka waktu paten dalam kesepakatannya dengan Thailand. Apabila dilihat dari sisi hukum paten, argumen AS adalah bahwa eksklusivitas data tidak memperpanjang paten memang benar adanya. Akan tetapi, secara ekonomis, eksklusivitas data menciptakan hak praktis untuk eksklusivitas pemasaran yang dapat memperlambat proses perluasan produk generik ke publik meskipun paten obat tersebut telah berakhir atau obat tersebut sama sekali tidak memiliki paten.

Mitos 3:
Eksklusivitas data tidak menghalangi masuknya obat-obatan generik yang sama; produsen obat-obatan generik bebas untuk memasukkan data tes yang telah mereka lakukan sendiri guna mendapatkan persetujuan pemasaran.

Kenyataan:
Pemerintah AS mengajukan argumentasi bahwa sangat mahal bagi perusahaan-perusahaan obat-obatan yang menemukan obat generik tertentu untuk menciptakan dan membuktikan keamanan dan kelayakan guna obat-obatan generik. Akan tetapi, AS juga mengajukan argumen yang tidak logis, yakni harga yang sama tidak menghalangi masuknya pesaing baru dalam industri obat-obatan generik. Sebaliknya, perusahan obat-obatan generik tidak hanya harus membayar mahal dan menghabiskan waktu yang banyak guna mengulang percobaan-percobaan klinis untuk mendapatkan akses pasar kecil dan miskin seperti Thailand, akan tetapi hal ini menjadi tidak etis dilakukan karena kelayakan dan keamanan produk-produk ini sudah ditentukan di Thailand sendiri. Meskipun demikian, AS tetap terus mencoba mengadakan perlindungan global untuk keamanan dan kelayakan data, serta persetujuan yang didasarkan pada data tersebut sehingga dapat menghambat proses registrasi bagi produk-produk baru yang akan masuk ke pasar.

Mitos 4:
Perusahaan-perusahaan farmasi besar harus mendapatkan keuntungan meskipun dari negara kecil dan miskin seperti Thailand guna mendapatkan insentif sebagai imbalan mereka dalam melakukan penelitian dan pembangunan obat-obatan generik.

Kenyataan:
Keuntungan yang datang dari penjualan di negara-negara berkembang sama sekali tidak begitu besar dalam menciptakan insentif terhadap penelitian dan pengembangan obat-obatan di masa mendatang. Industri obat-obatan AS sudah menjadi industri yang paling diuntungkan di dunia. Penjualan obat-obatan di Thailand saja hanya mengambil bagian kecil dari total penjualan global (AS$ 518 milyar pada tahun 2004). Di seluruh Asia, tak termasuk Jepang, penjualan obat-obatan dari AS hanya mencapai 3,9 persen dari total pasar dunia. Apabila semua negara berkembang dikombinasi, pasar industri obat-obatan AS di negara berkembang hanya mencapai 11,5 % dari total penjualan obat-obatan dunia. Perusahaan obat-obatan AS banyak menjual produk-produk mereka di negara-negara kaya di Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Mereka tidak perlu ‘menyedot darah’ dari konsumen miskin di Thailand dan negara-negara berkembang lainnya.

Mitos 5:
Karena keuntungan yang tinggi untuk penelitian dan pembangunan, tujuan hak kepemilikan intelektual AS mewakili kepentingan yang seimbang antara akses yang ada saat ini dan inovasi yang akan dilakukan di masa mendatang.

Kenyataan:
Sebagai satu industri, perusahaan-perusahaan farmasi besar menghabiskan banyak uang untuk keperluan pemasaran dan administrasi, sama halnya dengan apa yang mereka lakukan untuk penelitian dan pembangunan. Meskipun proses penelitian mereka mendapatkan potongan pajak, perusahaan-perusahaan obat-obatan biasanya menerima keuntungan dua kali lebih besar dari apa yang mereka habiskan untuk penelitian.

Mitos 6:
Peningkatan perlindungan kepemilikan intelektual di Thailand akan meningkatkan sektor farmasi.

Kenyataan:
Sukses atau tidaknya satu sektor farmasi di negara mana pun tidak banyak bergantung pada peraturan paten di negara kecil dan miskin. Sukses tergantung pada infrastruktur teknologi dan akses ke perlindungan paten, serta kesempatan pemasaran di negara-negara besar. Perusahaan farmasi India mampu menjadikan diri mereka inovatif meskipun adanya Peraturan Paten India yang baru-baru ini dikeluarkan, dan banyak bentuk inovasi yang mereka lakukan dikonsentrasikan untuk menembus pasar negara-negara maju.

Mitos 7:
Perusahaan-perusahaan obat-obatan besar tidak akan memperdulikan untuk meregistrasi produk-produk baru mereka di negara-negara seperti Thailand, kecuali mereka diberikan eksklusivitas data.



Kenyataan:
Meskipun hanya menghasilkan omset penjualan yang kecil, perusahaan-perusahaan obat-obatan besar akan tetap mendapat insentif dengan menjual obat-obatan kepada para kelas menengah dan orang kaya di negara-negara miskin dan berkembang. Selain itu, perusahaan-perusahaan seperti ini juga kerap meregistrasikan nama produk-produk mereka di berbagai negara yang tidak memiliki eksklusivitas data dalam kurun waktu 25 tahun belakangan ini.

Mitos 8:
Hanya segelintir obat-obatan yang akan terkena dampak dari peraturan eksklusivitas data, sehingga masyarakat Thailand tidak perlu khawatir.

Kenyataan:
Meskipun benar bahwa eksklusivitas data tidak dikenakan kepada semua jenis obat-obatan, peraturan ini tetap dikenakan terhadap obat-obatan yang baru keluar.

Mitos 9:
Kesepakatan TRIPS mengharuskan Thailand untuk mengadopsi ketentuan eksklusivitas data.

Kenyataan:
Pemerintahan AS salah mengerti mengenai standar yang ditentukan dalam kesepakatan TRIPS. Bagian yang paling relevan dalam kesepakatan TRIPS, Pasal 39.3, hanya memberikan perlindungan terhadap data yang bertentangan dengan penggunaan komersil yang tidak adil, seperti pencurian ataupun spionase komersil.

Mitos 10:
BFTA yang diajukan oleh AS mengijinkan Thailand untuk mengambil langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemerintah negara itu dalam melindungi kesehatan publik, khususnya berkenaan dengan penyakit menular seperti HIV/AIDS dan malaria.

Kenyataan:
Proposal yang diajukan oleh AS menciptakan perlindungan yang kuat terhadap data tes farmasi, tanpa pengecualian apapun bagi proses registrasi obat-obatan yang diproduksi secara domestik.

AS berusaha menekankan kemauan dan kepentingan industri farmasinya terhadap negara-negara lemah seperti Thailand. Thaialnd berusaha memberlakukan hak kedaulatannya untuk menjamin adanya akses masyarakat terhadap obat-obatan baru dan yang lebih efektif. AS juga telah mengancam adanya konsekuensi berat yang akan dihadapi Thailand apabila negara tersebut menolak usulan BFTA yang diajukan oleh AS. (AC)

Sumber:
Brook K. Baker, bilateral.org, 25 Januari 2006, pada:
http://www.bilaterals.org/article.php3?id_article=3711

Tidak ada komentar:

Posting Komentar