Minggu, 01 November 2009

Nasib Petani di Negara Miskin dalam Perundingan WTO

Membuka pintu dengan paksa ‘Bagaimana perundingan WTO mendatang mengancam para petani di negara-negara miskin’

Jutaan petani miskin di negara-negara berkembang tak dapat membangun kehidupan disebabkan pangan impor yang murah dan seringkali produk dumping. Bahan pangan terpenting di seluruh dunia, beras, menunjukkan persoalan yang sangat serius. Nagara-negara kaya dalam waktu lama menggunakan IMF dan Bank Dunia dan kesepakatan perdagangan bilateral yang agresif untuk mendorong terbukanya pintu pasar negara-negara miskin atas membanjirnya beras murah, termasuk beras bersubsidi berat dari Amerika Serikat, Saat ini negara-negara kaya berencana untuk menggunakan aturan-aturan yang mengikat (binding rules) dari WTO untuk mendobrak pintuk bersama-sama. Akan tetapi, aturan perdagangan harus mempromosikan pembangunan, bukan melemahkannya. Tiap perjanjian WTO yang baru harus memastikan bahwa negara-negara miskin dapat mengatur jalannya perdagangan untuk mempromosikan ketahanan pangan (food security) dan penghidupan pedesaan (rural livelihoods) .

Ringkasan‘Amerika Serikat harus mempertimbangkan kebijakan pertaniannya dalam kerangka internasional, menolong petani (kita) agar tetap bisa bersaing sementara terus mendesakkan akses bebas terhadap pasar global.” Departement
Pertanian Amerika Serikat ‘Kalau saya menggunakan cara sendiri, saya akan menghentikan masuknya beras dari Amerika Serikat ke negara ini – dan betul, seandainya tidak ada beras Amerika Serikat yang masuk, kita pasti sudah makmur dan keluar dari kemiskinan.’ — Al-Hassan Abukari, seorang petani beras di Ghana bagian utara. Tahun 2005 adalah tahun penting dalam upaya membuat kemiskinan tinggal sejarah. Lebih dari 80 persen penduduk miskin dunia ada di wilayah pedesaaan dan oleh karena itu menguatkan bahwa kerja-kerja pertanian bagi kaum miskin harus menjadi inti agenda internasional. Pertemuan WTO tingkat Menteri (WTO Ministerial Meeting) di Hong Kong pada bulan Desember akan menjadi momen kunci dalam mewujudkan janji agenda pembangunan yang dihasilkan dari Putaran Doha (Doha Round) agar menjadi kenyataan.Alih-alih mewujudkan komitmen mereka untuk meletakkan pembangunan sebagai pusat pembicaraan tentang perdagangan dunia, negara-negara kaya masih menetapkan
aturan perdagangan pertanian yang ketat bagi negara-negara miskin. Amerika
Serikat dan Uni Eropa khususnya, telah merubah paket-paket subsidi pertanian mereka sehingga paket-paket tersebut terlihat mempunyai legimitasi sesuai dengan aturan-aturan WTO, yang memungkinkan mereka untuk terus melakukan dumping produk-produk seperti beras, jagung, susu, gula dan kapas dengan harga yang jauh dibawah biaya produksi yang sesungguhnya. Pada saat bersamaan, Amerika Serikat dan Uni Eropa secara agresif mendorong negara-negara yang sedang berkembang untuk membuka pasar mereka lebih jauh dengan mengurangi tarif impor.Terwujudnya agenda negara-negara maju ini akan menjadi hadiah besar bagi negara-negara tersebut, namun akan mengancam penghidupan para produsen di negara miskin yang merupakan 96 persen dari seluruh petani di seluruh dunia. Beras memberikan ilustrasi yang jelas tentang ancaman yang mereka hadapi.Beras adalah hidup – dan penghidupanBagi tiga milyar penduduk – setengah penduduk dunia – beras merupakan makanan pokok. Dua milyar penduduk dunia juga tergantung pada penananaman dan pemrosesan padi atau beras untuk penghidupan mereka, kebanyakan dari mereka adalah petani berlahan sempit di negara-negara miskin. Di Amerika Serikat, beras dihasilkan di lahan-lahan pertanian yang luas yang memperkerjakan segelintir orang saja; di Srilangka, misalnya – negara yang 140 kali lebih kecil dari AS – jumlah petani hampir 50 kali lipat.Di negara-negara dimana beras sangat penting dalam memerangi kelaparan dan mengurangi kemiskinan, para pemerintahnya menerapkan kebijakan-kebijakan pertanian dan perdagangan – misalnya tarif impor – untuk memperkuat daya saing sektor tersebut, seperti halnya di Vietnam; untuk menghasilkan pertumbuhan pedesaan seperti di Indonesia; atau memberikan suatu jaringan pengaman bagi penghidupan para petani berlahan sempit. Jika dukungan negara dikurangi sebelum waktunya dan tarif impor dipotong besar-besaran, impor dengan harga rendah akan membanjir. Tidak peduli apakah impor tersebut berasal dari negara-negara eksportir yang kompetitif seperti misalnya Vietnam dan Thailand ataukah merupakan produk dumping dari negara yang menetapkan subsidi tinggi seperti Amerika Serikat, dampaknya akan menghancurkan penghidupan jutaan keluarga petani dan prospek pembangunan pedesaan. Kicking down the door, Oxfam Briefing Paper1
Makanan yang murah tentu saja berharga bagi konsumen miskin. Namun semakin meningkatnya impor tidak selalu berarti rendahnya harga eceran. Ketika beberapa gelintir importir besar mengendalikan pasar – seperti di Honduras – keuntungan yang diperoleh mungkin tidak akan tersalurkan dengan baik, sehingga membuat baik petani maupun konsumen semakin miskin. Lebih jauh lagi, karena konsumen di pedesaan biasanya mendapatkan penghasilan tunai sebagai petani dan buruh tani, atau di dalam usaha tani diluar budidaya (off-farm) yang tergantung pada ekonomi pertanian yang berhasil, mereka akhirnya bisa menjadi miskin jika impor membuat harga-harga hasil panen setempat jatuh. Jika, ketika, dan bagaimana melakukan liberalisasi perdagangan pertanian merupakan
suatu tantangan yang rumit di negara berkembang manapun. Pemerintah-pemerintahnya
harus mempertimbangkan potensi dampak liberalisasi terhadap konsumen, namun juga terhadap ketahanan pangan nasional dan pendapatan dari pajak, terhadap
perempuan dan laki-laki, terhadap lingkungan, dan terhadap perdagangan Selatan-
Selatan. Dibandingkan dengan WTO, World Bank, atau IMF, para pemerintah negara berkembang merupakan pihak yang paling tepat untuk memecahkan dilema-dilema kebijakan ini dan oleh karenanya harus mempunyai fleksibilitas yang memadai
untuk menganut kebijakan yang paling tepat bagi kondisi domestik mereka. Pada saat yang bersamaan, diperlukan suatu peningkatan akuntabilitas para pemerintah terhadap publik, untuk menjamin bahwa penduduk miskin akan betul-betul mendapat manfaat dari kebijakan tersebut. Yang ketiga, akan diperlukan lebih banyak investasi dalam bidang pertanian – di masa dimana bantuan internasional bagi pembangunan pertanian telah turun sepertiga dari nilainya di tahun 1984, karena pertanian sudah tidak lagi menjadi pilihan para donor. Kekhawatiran Oxfam adalah bahwa arah negosiasi
WTO serta tekanan-tekanan lain untuk liberalisasi perdagangan yang cepat dan tidak merata akan semakin menghambat kekuatan negara-negara berkembang untuk memutuskan perdagangan dan kebijakan pertanian mereka sendiri dan mempunyai potensi konsekuensi-konsekuensi yang sangat buruk bagi masyarakat miskin.Membuka paksa pintu: tekanan dari segala sisiNegara-negara berkembang telah lama berada dalam tekanan dari para lembaga keuangan internasional (IFI) dan dari para eksportir pertanian besar untuk membuka pasar mereka bagi beras dan makanan pokok lainnya. Sejak awal 1980-an, IMF dan World Bank telah menggunakan persyaratan formal untuk pinjaman dan paksaan-paksaan informal untuk memaksa negara-negara berkembang melakukan deregulasi dan liberalisasi pasar pertanian mereka. Pada tahun 1995, IMF memaksa Haiti untuk memotong tarif impor beras dari 35 persen menjadi 3 persen, sehingga impor meningkat lebih dari 150 persen antara tahun 1994 dan 2003. Saat ini, tiga dari empat piring nasi yang disantap di Haiti berasal dari beras Amerika Serikat. Ini merupakan kabar baik bagi Riceland Foods of Arkansas, penggiling padi terbesar di dunia. Keuntungan Riceland meningkat drastis sebesar $123 juta dari 2002 ke 2003, sebagian besar karena kenaikan ekspor sebesar 50 persen, terutama ke Haiti dan Cuba. Namun Riceland telah menghancurkan
petani di Haiti, dimana kawasan-kawasan penanam padi sekarang mempunyai tingkat kekurangan gizi dan kemiskinan yang paling tinggi.Di Ghana, deregulasi karena tekanan World Bank dan IMF juga telah menimbulkan tingginya aliran impor beras. Ini telah membuat parlemen untuk menyetujui naiknya tarif pada tahun 2003. Namun IMF, yang didorong oleh ‘kepentingan untuk tercapainya
kebijakan perdagangan terbuka bagi Ghana” , telah menekan pemerintah Ghana untuk berbalik arah dari komitmen tersebut. Kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas dengan para eksportir pertanian besar seperti Australia, Kanada dan Amerika Serikat telah membuat negara-negara miskin untuk memberikan komitmen merek auntuk membuka pasar mereka bagi impor harga rendah. Misalnya traktat DR-CAFTA 2004 antara lima negara republik 2Kicking down the door, Oxfam Briefing Paper
di Amerika Tengah, Republik Dominika, dan Amerika Serika, akan membuat ekspor dumping Amerika Serikat aman di pasar regional. Karena tarif jatuh, sejumlah 17.000 petani padi di Nikaragua akan menghadapi banjir beras dari Amerika Serikat yang telah mendapatkan subsidi besar ke dalam pasar mereka.Praktek dumping oleh negara kayaPara negara kaya memberikan subsidi yang tinggi bagi pertanian: pada tahun 2002 Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa secara keseluruhan telah memberikan subsidi sebesar $16 milyar hanya untuk para produsen beras saja. Dari tiga negara tersebut, Amerika Serikat khususnya paling berhasil dalam menerapkan kehipokritan mereka jika menyangkut perdagangan beras. Amerika Serikat merupakan eksportir beras ketiga terbesar di dunia – mesikupun harga beras AS adalah dua kali ongkos tanamnya seperti halnya di negara-negara ekspor utama seperti Thailand dan Vietnam.
Ini hanya mungkin karena besarnya dukungan dana pemerintah: pada tahun 2003 pemerintah AS mreogoh sebesar $1,3 milyar untuk subsidi sektor padi untuk membantu petani agar menghasilkan tanaman pangan yang akan menelan biaya $1,8 milyar untuk memanamnya, sehingga secara efektif menutup biaya produksi sebesar 72 persen.Antara tahun 2000 dan 2003, diperlukan biaya kira-kira $415 untuk menanam dan menggiling satu ton beras (putih) di Amerika Serikat. Tapi beras tersebut dilempar ke pasar ekspor seharga $274 per ton atau 34 persen di bawah harga sesungguhnya. Pemenang dari gabungan antara subsidi besar-besaran di AS dan liberalisasi perdagangan
yang cepat di negara-negara berkembang adalah agribisnis AS. Tidak heran bahwa para pemilik penggilingan padi dan para eksportir melakukan begitu banyak investasi untuk melakukan lobi dengan pemerintah AS untuk membuka pasar ekspor baru bagi surplus produk mereka untuk dilempar keluar.Akan terwujud di WTO: negara-negara kaya membuka pintu dengan paksaNegosiasi-negosiasi yang dilakukan saat ini di WTO akan menentukan sejauh mana negara-negara berkembang harus menurunkan batas tarif mereka. Oxfam telah menghitung dampaknya bagi negara-negara miskin dengan menggunakan satu usulan
formula pengurangan tarif yang dikenal sebagai formula Harbinson. Tiga belas negara penanam padi – termasuk India, China, Nikaragua dan Mesir – akan dipaksa untuk menurunkan tarif impor beras mereka. Ketigabelas negara ini menghasilkan lebih dari separuh dari beras di seluruh dunia dan merupakan negara-negara bagi 1,5 milyar penduduk yang tergantung pada pertanian untuk penghidupan mereka. Dalam menghadapi impor beras, mereka tidak akan diijinkan untuk menaikkan tarif untuk melindungi petani dan ekonomi pedesaan. Banyak negara-negara lain yang juga akan mempunyai kesempatan kecil untuk melakukan manuver dalam kebijakan tarif.Keprihatinan serupa juga menyangkut prospek makanan pokok lainnya. Dengan formula yang sama:• peternakan unggas: 18 negara akan menghadapi pemotongan tarif secara otomatis,
termasuk Côte d’Ivoire, Honduras dan Maroko• susu: 14 negara, termasuk Kenya, Philipina dan Kongo.• susu bubuk: 13, termasuk Ghana, Honduras dan India• kacang kedelai: 13, termasuk Turki, China dan Côte d’Ivoire• kacang tanah: 13, termasuk Costa Rica, Thailand dan Turki
Kicking down the door, Oxfam Briefing Paper 3
• jagung: 7, termasuk India, Meksiko dan Kongo• gandum: 6, termasuk India, Meksiko dan Tunisia.Jika negara-negara berkembang kehilangan kendali atas tarif seperti ini, mereka akan berisiko menghadapi banjirnya impor makanan. Dalam menghadapi kerusakan yang dapat ditimbulkannya terhadap pembangunan pedesaan, para negara berkembang
telah mengajukan dua proposal untuk mendapatkan perlakukan khusus dan dibedakan: • Kategori ‘produk khusus’, yang akan memungkinkan negara-negara berkembang untuk menunjuk tanaman pangan tertentu – yaitu yang penting bagi penghidupan, ketahanan pangan, dan pembangunan pedesaan – untuk mendapat pengecualian dari pemotongan tarif;• ‘Mekanisme perlindungan khusus’ yang akan memungkinkan negara-negara miskin untuk meningkatkan tarif sementara untuk menghadapi harga atau volume impor yang berfluktuasi.Dalam negosiasi-negosiasi sampai saat ini, negara-negara kaya dan sejumlah negara berkembang yang merupakan eksportir produk pertanian, telah berupaya untuk mengurangi jumlah produk tersebut dan fleksibilitas yang diberikan dalam usulan-usulan di atas. Sebaliknya, sekelompok negara-negara yang rentan terhadap impor yang dikenal sebagai G33, telah memperjuangkan hak para pemerintah untuk memutuskan sendiri berapa banyak produk yang harus masuk dalam klasifikasi ‘produk khusus’ dan kapan menerapkan mekanisme perlindungan khusus. Oxfam mendukung G33 dalam hal ini.RekomendasiNegara-negara berkembang harus diijinkan untuk mengatur alur perdagangan untuk mendukung pertaninan, agar bisa menjamin ketahanan pangan, pembangunan pedesaan, dan pertumbuhan berjangka panjang. Ini memerlukan tindakan pada berbagai level:Negosiasi WTO. Satu Agreement on Agriculture yang baru harus mencakup hal-hal berikut:• Sebuah kalimat dalam preambul untuk memberikan klarifikasi bahwa: “Tidak
sesuatupun dalam kesepakatan ini yang akan mencegah negara-negara berkembang untuk menggalakkan tujuan-tujuan pembangunan, pengurangan kemisikinan, ketahanan pangan, dan hal-hal yang berkaitan dengan penghidupan.”
• Satu formula pengurangan tarif yang memungkinkan negara-negara berkembang
untuk mengurangi tarif dengan cara yang tidak mengabaikan strategi pembangunan mereka.• Pengecualian penuh dari pemotongan tarif untuk tanaman bagi ketahanan pangan
– pangan yang menjadi andalan hidup penduduk – dan suatu mekanisme perlindungan khusus untuk negara-negara berkembang. Mempertahankan fleksibilitas yang memadai secara khusus penting bagi negara-negara berkembang, karena dumping ekspor akan sangat mungkin untuk berlanjut selama beberapa tahun mendatang sehingga menghambat kompetisi dalam pasar pertanian. Kesepakatan perdagangan regional. Negara-negara maju harus menghentikan negosiasi kesepakatan perdagangan regional (RTA) dengan negara-negara berkembang.
Dalam bentuknya sekarang ini, RTA mengancam kapasitas negara-negara
4 Kicking down the door, Oxfam Briefing Paper
miskin untuk mewujudkan kebijakan pertanian yang berpihak pada pembangunan karena mereka memaksa negara-negara miskin untuk membuka perbatasan mereka tanpa pilih-pilih terhadap produk pertanian bersubsidi tinggi. Koherensi kebijakan dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. IMF dan World Bank harus menganut suatu kebijakan baru bahwa mereka tidak akan lagi menggunakan persyaratan perdagangan atau mencegah para pemerintah untuk meningkatkan
tarif sebagai bagian dari strategi pembangunan pedesaan dan ketahanan pangan mereka.Kebijakan dalam negeri. Para pemerintah negara berkembang yang memiliki petani yang miskin sumber daya dalam jumlah yang besar harus memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pertanian dalma negeri meningkatkan ketahanan pangan dan penghidupan di pedesaan, dan meningkatkan kesetaraan gender. Penggunaan tindakan-tindakan protektif harus selektif dan berkembang sesuai jaman, sementara negara-negara berusaha mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang lebih tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar