Minggu, 01 November 2009

Sejarah Ekonomi Rakyat Indonesia

Resensi Buku: Sejarah Ekonomi Rakyat Indonesia
Oleh: Mubyarto

Resensi Buku:
1. Dick, Howard, dkk. The Emergence of A National Economy. (Allen & Unwin dan Univ. of Hawaii Press, 2002)
2. Booth, A. The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries. A History of Missed Opportunities (London: Macmillan). 1998.

DUA buah buku sejarah ekonomi Indonesia masing-masing oleh Howard Dick dkk "The Emergence of A National Economy (Allen & Unwin dan Univ. of Hawaii Press, 2002), dan Anne Booth 'The Indonesian Economy in the 19th and 20th Century (MacMillan dan St. Martin Press, 1998) tepat diresensi bersama dengan judul Sejarah Ekonomi Rakyat Indonesia. Kedua buku dituilis dalam rangka lebih memahami ekonomi Indonesia Modern dengan mendorong pakar-pakar ekonomi muda agar tertarik membandingkan kondisi ekonomi Indonesia masa sekarang dengan kondisi masa lalu, sejak sebelum Indonesia Merdeka, ketimbang dengan selalu membandingkannya dengan ekonomi negara-negara lain yang sama-sama belum berkembang.

Buku The Emergence of A National Economy yang ditulis oleh 2 pakar ekonomi dan 2 pakar sejarah dibagai dalam 7 bab:
1. State, nation-state and national economy,
2. The pre-modern economies of the archipelago,
3. Java in the 19th century: consolidation of a territorial state,
4. The outer islands in the 19th century: Contest for the periphery,
5. The late colonial state and economic expansion, 1900-1930s
6. Formation of the nation state, 1900-1930s
7. The Soeharto era and after; stability development and crisis 1966-200.

Kesimpulan dari buku sejarah ekonomi 200 thn ini (1900-2000_ tidak meragukan lagi bahwa bangsa Indonesia ditakdirkan mengalami ujian atau percobaan tak kenal henti berupa krisis ekonomi, sosial, politik dan fisik dari waktu ke waktu. Namun tetap saja ada trend sangat jelas bahwa dari 'benua kepulauan' yang amat luas ini telah lahir satu negara-bangsa modern bernama Indonesia. Melalui berbagai sistem ekonomi dan politik yg berbeda-beda terutama sejak 1966, kemajuan ekonomi telah terjadi dan dirasakan, meskipun belum secara adil dan merata. Yang mencolok, transisi menuju demokrasi (atau kerakyatan) jauh lebih sulit dan menyakitkan ketimbang pembangunan ekonomi...

'the transition to democracy has therefore been even more protracted and painful than economic development. This has in turn retanded the emergence of institutions that would be appropriate to a modern-state and able to sustain a large dispersed and technically sophisticated economy.'

Setelah 3,5 tahun mengalami masa transisi reformasi yang mengguncangkan sendi-sendi masyarakat negara-bangsa (1997-2001), penulisnya mempunyai harapan sangat besar pada Megawati yang menjadi Presiden pada Juli 2001....

'all in all after four years of political turmoil, vloody ethnic and religious conflict and economic deprivation, the Indonesia people could at last entertain soem hop that the worst of the crisis was over and that the lesculian task of building a strong, democratic, tolerant, socially just and economically prosperous nation could finally begin' (epilogue, p.245).

Buku ke 2 oleh Anne Booth yang sudah cukup lama dikenal sbg "spesialis" ekonomi Indonesia di Australian National University (dan kini di School of Oriental and African Studies, University of London) sudah terbit 1998 tetapi belum banyak dibaca ilmuwan Indonesia. Sub judul buku ini adalah" A History of Missed Opportunities", artinya seperti pernah dikatakan Clifford Geertz tahun 1963 (Agricultural Involution), Indonesia (khususnya Jawa) pernah memperoleh peluang untuk "take off" menuju pertumbuhan ekonomi pd tahun1870an setelah dihapuskannya sistem tanam paksa dan dimulainya sistem ekonomi kapitalis liberal melalui UU Agraria. Tetapi peluang ini terabaikan, tidak seperti Jepang pada periode yg sama bersamaan dg Restorasi Meji.

Dari 7 bab buku Anne Booth, yg paling relevan dg sejarah perkembangan ekonomi rakyat di Indonesia adalah bab 7: Market and Entrepeneurs. Pertama-tama sistem tanam paksa (1830-1870) yg merupakan sistem ekonomi "komando" telah tidak memberi peluang berkembangnya ekonomi rakyat (undigineous economy) bahkan ekonom atau perusahaan-perusahaan perkebunan yg dibuka mulai 1870an telah menyaingi dan 'mematikan' perkembangan rakyat. Dalam perdagangan peluang berusaha pada perusahaan-perusahaan dagang yg dimiliki "Timur Asing" terutama Cina telah mendesak usaha-usaha dagang penduduk pribumi. Pemerintah kolonial yg menyaksikan persaingan tidak seimbang antara ekonomi rakyat dan usaha-usaha Cina dan perusahaan-perusahaan besar konglemerat turun tangan di bidang keuangan dan kredit melalui pendirian Bank-bank Rakyat (Voeks Bankeur), bank Desa dan Lumbung Desa yg berperanan sangat besar.Bank-bank perkreditan kecil ini, bersama dengan Pegadaian, meskipun mengenakan bunga relatif tinggi telah menjadi alat pemerintah 'melindungi' ekonomi rakyat. Sistem kredit pada zaman penjajahan ini mempunyai daya tahan tinggi, bahkan pada masa depresi sekalipun tidak memerlukan subsidi pemerintah. Demikian jika dalam krisis moneter tahun 1997-1999 Bank-bank modern bertumbangan, kredit-kredit rakyat (kredit mikro) sepeerti BRI dan BPR, dan Pegadaian bertahan dan berkembang membiayai usaha-usaha ekonomi rakyat.Artinya, daya tahan ekonomi rakyat yg tinggi terhadap krismon di zaman modern akhir abad 20 sudah dibuktikan pula pada depresi tahun 1930an.

Madison, 29 April 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar